Apakah Anda pernah mendengar merek minuman manis yang melakukan somasi kepada konsumennya? Yups, pada tahun 2022 seorang konsumen diminta untuk mengklasifikasi serta meminta maaf setelah mengkritik produk minuman manis. Namun, alih-alih mendapat simpati, perusahaan tersebut justru mendulang respon netizen yang tak ‘manis’ dengan skala masif. Kasus ini menjadi salah satu contoh tantangan yang dihadapi perusahaan, yaitu krisis.

Setiap perusahaan harus siap untuk menghadapi krisis, baik yang terjadi dalam lingkup internal maupun eksternal. Krisis perlu ditangani dengan tepat karena dampaknya tidak hanya dapat mengancam kredibilitas tetapi juga berpotensi menghancurkan kepercayaan publik.

Menurut Global Crisis Survey 2023, 89% pemimpin perusahaan mengaku bahwa kegigihan dalam menghadapi masalah adalah keunggulan kompetitif perusahaan. Bahkan 70% responden percaya pada kemampuan perusahaan untuk menanggapi berbagai disrupsi. Sayangnya, hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang ada di lapangan.

Mayoritas perusahaan masih tidak memiliki ketahanan bisnis yang mereka butuhkan untuk berhasil melewati sebuah krisis. Dalam survei yang sama, terungkap bahwa 76% disrupsi di level yang tinggi pada perusahaan masih memiliki dampak medium-to-high pada operasi perusahaan. Lalu bagaimana cara yang tepat dan teruji dalam menghadapi krisis?

Mengutip dari Bill McFarlan dalam bukunya “Dropping the Pink Elephant: 15 Ways to Say What You Mean dan Mean What You Say” ada tiga permintaan maaf yang dirancang untuk menenteramkan hati publik ketika sebuah perusahaan melakukan tindakan yang menodai reputasinya yaitu, Regret (penyesalan), Reason (alasan), dan Remedy (memperbaiki). Ketiga formula ini merupakan elemen dasar permintaan maaf yang dapat menjadi panduan bagi perusahaan dalam melewati masa krisis.

Pertama adalah regret, menyesali dengan tulus atas perbuatan yang telah mengecewakan berbagai pihak. Pada tahap ini perusahaan harus memahami bagaimana rasanya berada di pihak lain yang dirugikan dan bagaimana perusahaan berempati. Satu hal yang penting pada tahap ini adalah jangan pernah melakukan sikap defensif seperti menyelipkan kata “tapi” untuk melakukan pembelaan. Dengan permohonan maaf yang tulus, perusahaan dapat perlahan menuju kondisi yang lebih kondusif.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah reason, memberikan alasan yang masuk akal atas krisis yang telah terjadi. Cukup akui dan jelaskan, mengapa hal kurang memuaskan tersebut terjadi. Tidak perlu menyelipkan hal-hal hebat yang telah perusahaan lakukan sebelumnya dengan tujuan untuk menutupi krisis karena dapat menunjukkan kurangnya empati. Perusahaan lebih baik fokus menjelaskan isu yang terjadi secara jujur dan nyata.

Formula ketiga sekaligus terakhir adalah remedy, aksi tindak lanjut yang diikuti dengan memberikan solusi kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh perusahaan. Alih-alih berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, perusahaan dapat menyampaikan usaha yang dapat ditempuh untuk menebus kesalahan. Pihak yang bersangkutan dan publik dapat merasa jauh lebih tenang dengan adanya solusi yang ditawarkan dan dilakukan.

Pada dasarnya, cara terbaik dalam manajemen krisis adalah persiapan sebelum krisis itu terjadi. Perusahaan memerlukan perencanaan yang matang sebelum mengukapkan suatu langkah kepada publik. Namun apabila krisis sudah terjadi, tiga formula dasar dari Bill McFarlan di atas dapat menjadi panduan dalam melakukan eksekusi manajemen krisis dengan lebih tepat.

Penulis: Chicilia Wongsodiredjo, Account Manager ID COMM.