Sejak manusia menciptakan aksara dan keterampilan literasi pun meningkat, informasi menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan. Seperti pisau bermata dua, informasi bisa dikelola untuk memberikan manfaat nilai positif melalui penyediaan referensi faktual yang proporsional, atau sebaliknya menciptakan dilema, kegelisahan, ketakutan, ketegangan atau tekanan melalui pengecohan data. Keduanya dapat dirancang secara sengaja untuk membekali penerimanya, sebelum mereka akhirnya dapat mengambil keputusan dan menentukan sikap. Tidak lama sebelum kita menyadarinya, informasi pun telah menjelma sebagai komoditas. Begitu bernilai dan politis untuk dipertukarkan.

Salah satu teknik yang digunakan untuk mendorong penerima informasi dalam menentukan suatu pilihan, adalah dengan menyoroti kontras antara dua subyek, atau secara konsisten membandingkan antar pilihan. Secara kontroversial ini dapat dilakukan dengan cara mempromosikan kekurangan dan keburukan pilihan lain tersebut, melalui berbagai cara.

Teknik inilah yang sangat jelas digunakan di ranah politik, kurang lebih sepanjang lima tahun terakhir ini. Kampanye komunikasi menjadi sebuah kegiatan yang secara sengaja didesain untuk ‘merawat kebencian’ terhadap pihak yang berseberangan, yang dianggap sebagai ‘lawan kehidupan’, alih-alih hanya sebagai kontestan dalam liga perebutan pucuk kepemimpinan. Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, di sebuah kesempatan bahkan secara tegas mengatakan, “Motif utama dari produksi ujaran kebencian dan disinformasi semata-mata adalah masalah politik.” Ini tidak saja terjadi di Indonesia tetapi di seluruh dunia – sebagaimana di Amerika Serikat, yang kini menyesalinya – dan saat ini telah sampai di titik yang semakin sulit untuk dikendalikan atau dikembalikan.

Revolusi Digital Menyuburkan Ujaran Kebencian, Hoax dan Disinformasi

Revolusi digital jelas menjadi katalis bagi hal ini. Masyarakat kini dapat saling berbagi pengalaman dan opini di antara kelompok dengan begitu mudahnya. Adopsi informasi secara online terjadi dengan sangat cepat, dengan pemanfaatan blog, Facebook, Twitter dan Youtube yang sangat luas.

Menyebarnya ujaran kebencian dan disinformasi, utamanya di platform online melalui media sosial dan layanan pesan, menjadi hal yang tidak dapat dibendung lagi dan makin memprihatinkan. Dorongan bagi perilaku marah dan kekerasan, kasar dan mempermalukan, serta tersebar luasnya diseminasi hoax atau bentuk-bentuk disinformasi lainnya, meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir. Hal ini telah menjadi tantangan di tingkat negara dan kini bahkan menjadi prioritas keamanan.

Kepolisian Republik Indonesia menyatakan, penyebaran berita bohong alias hoax dari akun media sosial asli, semi anonim hingga anonim sejak pertengahan 2017 hingga Desember 2018 adalah sebanyak 3.884 konten – dimana lebih dari setengahnya berasal dari jumlah laporan tahun 2018. Penyebaran konten hoax dan ujaran kebencian dilakukan oleh 643 akun asli, 702 akun semi anonim dan 2.533 akun anonim. Jumlah akun anonim meningkat 100 persen di 2018 dibandingkan pada tahun 2017 yang hanya sebanyak 733 buah.

Ini menjadi bukti satu lagi penyakit sosial baru yang merebak, terkait pengelolaan informasi; yaitu tumpulnya rasa bersalah dan tanggung jawab moral dalam menciptakan informasi bohong, sangat mudahnya menyebarkan informasi tanpa pernah melakukan verifikasi, dan ringannya sikap dalam menambah komentar yang non-konstruktif. Warga pun menjadi sedemikian terombang-ambing dan kesulitan untuk dapat mengenali informasi yang valid. Akhirnya, hal ini menjadi validasi bahwa kita semua, senyatanya telah memasuki era post-truth dimana individu hanya memercayai informasi apa pun yang mereka inginkan untuk dipercaya.

Perjalanan Panjang Indonesia

Di Indonesia, sejumlah inisiatif telah diimplementasikan untuk merespon tantangan-tantangan di atas melalui langkah-langkah preventif, penegakan hukum, penyiapan narasi tanggapan, kampanye edukasi publik tentang internet aman dan pemanfaatan media online dan offline secara positif.

Menurut Kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, orang yang menebarkan informasi palsu atau hoax, atau menyebarkan ujaran kebencian di dunia maya, sehingga menyebabkan konflik sosial, akan dikenakan hukum positif (yang sedang berlaku). Mereka dapat dikenakan salah satu pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau pun undang-undang lain di luar KUHP. Regulasi yang terkait uamanya adalah Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Menurut pihak otoritas Indonesia, ujaran kebencian meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan menyebarkan berita bohong, yang biasanya bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat, antara lain dengan mempertajam perbedaan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, hingga orientasi seksual. Ujaran kebencian ini dapat dilakukan dalam bentuk orasi kampanye, spanduk, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, hingga pamflet.

Namun, upaya pemerintah Indonesia dipandang belum cukup, mengingat isu dan teknologi berkembang sangat pesat – melampaui kecepatan dalam perumusan kebijakan atau penguatan norma umum yang mungkin dilakukan. Langkah preventif yang lebih strategis, jelas dibutuhkan.

Indonesia sebenarnya dapat membentuk sebuah komisi yang terdiri dari para pakar tingkat tinggi dengan latar belakang berbeda-beda, untuk dapat memberi masukan tehadap berbagai inisiatif kebijakan dan program pemerintah terkait ujaran kebencian dan disinformasi ini. Komisi ini perlu bekerja secara sungguh-sungguh dan terintegrasi sepanjang waktu, untuk merekomendasikan pendekatan multi-dimensi berdasarkan respon publik yang saling terkait dan saling memperkuat.

Di lain sisi, Indonesia dapat memperkuat perangkat peraturan produksi dan transaksi informasi secara komprehensif dan aplikatif dengan melibatkan perusahaan-perusahaan media sosial, seperti dengan Facebook, Google, Twitter atau Microsoft dan ‘memaksa’ mereka menerapkan protokol yang lebih ketat dalam menangkal ujaran kebencian dan disinformasi. Sebagai contoh, mereka dapat menyediakan informasi yang transparan tentang algoritma yang mereka gunakan dalam menyuguhkan sebuah informasi, memperkuat mekanisme penangkalan berita dengan kata-kata kunci yang memuat ujaran kebencian, memastikan reaksi cepat terhadap laporan publik (misalnya menghilangkan berita yang dilaporkan oleh publik di bawah 24 jam), hingga penyusunan panduan komunitas yang melarang promosi atau dorongan bagi ujaran kebencian dan disinformasi.

Upaya ini tidaklah mudah dan tidak bersifat jangka pendek, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Kerjasama antar pihak, termasuk sikap proaktif dan mawas diri para praktisi profesional komunikasi seperti ID COMM, dapat mempercepat kita untuk mencapai tujuan tersedianya informasi yang benar, tepat, serta mendidik publik secara positif untuk ‘merawat kedamaian”.

Penulis: Sari Soegondo, Praktisi Kehumasan, Co-Founder & Executive Director ID COMM.