Di tengah perkembangan sosial yang dinamis, keluarga di wilayah Asia Tenggara dipandang sebagai unit yang memegang teguh tradisi sambil merangkul modernitas. Stereotipe ini harus dipahami dalam konteks perubahan sosial yang lebih luas. Di Indonesia, misalnya, keluarga terus berusaha beradaptasi dengan nilai-nilai global terbaru tanpa melupakan akar budaya mereka. Hal tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan, dari cara mereka berinteraksi hingga bagaimana mengasuh anak-anak.
Dalam era yang terus berubah dengan cepat ini, keluarga ASEAN menghadapi tantangan dan peluang baru yang memengaruhi bagaimana mereka menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas. Sebuah studi komprehensif yang dipaparkan oleh Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN) dalam acara HILL ASEAN FORUM 2024 di Jakarta (26/6), mengungkapkan bagaimana keluarga di enam negara ASEAN, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam, terus beradaptasi dengan dinamika ini.
Devi Attamimi, Institute Director HILL ASEAN dan Direktur Hakuhodo International Indonesia, mengatakan, “Temuan yang kami sajikan kali ini sangat istimewa. Indonesia menjadi negara yang pertama kali memaparkan hasil studi sekaligus merayakan 10 tahun berdirinya HILL ASEAN. Dengan mengangkat tema yang sama seperti tahun 2014, yaitu tentang ‘Keluarga ASEAN’, menunjukkan bahwa selama satu dekade terakhir, keluarga di ASEAN tetap memprioritaskan keluarga sebagai fondasi utama.”
Beberapa nilai baru muncul dalam keluarga ASEAN. Salah satunya adalah pergeseran dari koneksi terus-menerus (always-on connection) menjadi berbagi informasi sesuai permintaan (sharing-on-demand). Sepuluh tahun lalu, teknologi seperti media sosial memungkinkan keluarga tetap terhubung 24/7, tetapi kini mereka lebih memilih berbagi informasi pada waktu dan topik yang relevan. Secara tidak langsung, perubahan tersebut memperkuat ikatan antara anggota keluarga.
Selain itu, muncul konsep keluarga unik (we-nique family) di mana anak-anak menjadi simbol kreativitas keluarga yang ditonjolkan melalui berbagai aktivitas dan tradisi yang disesuaikan. Keluarga juga mulai mengedepankan privasi dan otonomi individu dalam konsep ‘Me in We’, di mana orang tua memberikan kepercayaan dan kebebasan lebih besar kepada anak-anak mereka.
Perubahan lainnya terlihat dalam pola pengasuhan yang lebih menekankan pada kebahagiaan dan bimbingan yang bijaksana, yang disebut Parenting 2.0 – berbeda dengan pengasuhan ketat di masa lalu. Namun, nilai-nilai tradisional tetap kuat di tengah perubahan ini. Keluarga masih dianggap sebagai jaminan finansial dan emosional yang paling dapat diandalkan.
“Di ASEAN, keluarga adalah kekayaan sejati, terutama dalam menghadapi tantangan tak terduga,” ungkap Irfan Ramli, Chairman of Hakuhodo International Indonesia. Di Indonesia sendiri, keluarga menekankan pendidikan agama sebagai kunci menjadi orang baik dan berbudi luhur. Pola pengasuhan yang disebut “experimental syncretic parenting” juga mencolok, di mana orang tua menciptakan gaya pengasuhan sendiri dengan tetap menjunjung tinggi tradisi serta kepercayaan religius.
Irfan menambahkan, “Keluarga Indonesia dikenal sebagai ‘The Devoted Weaver’, mereka menekankan keseimbangan antara aspek modern dan keyakinan tradisional. Berdedikasi kepada agama atau keyakinan dan kepada generasi serta keluarga.” Penelitian menunjukkan bahwa keluarga-keluarga di ASEAN terus berpegang pada nilai-nilai tradisional sambil mengadopsi nilai-nilai baru, menciptakan struktur keluarga yang tangguh dan adaptif.
Forum HILL ASEAN tidak hanya menjadi platform untuk memaparkan hasil penelitian, tetapi juga menggambarkan bagaimana ID COMM turut mendukung dan memainkan peran penting dalam memastikan pesan serta hasil studi tersebut tersampaikan dengan baik kepada audiens. Melalui pendekatan yang strategis, ID COMM membantu memperkuat pesan kunci dan memastikan setiap detail berjalan lancar hingga memberikan dampak yang signifikan bagi para kliennya.
Penulis : Agil Asmoaji
Editor : Yulia Maroe, D. R. Damayanti