Pemanfaatan media sosial sebagai ruang demokrasi lumrah dilakukan dalam kegiatan komunikasi publik. Hal ini terlihat dari dukungan netizen Indonesia kepada rakyat Palestina akibat dari konflik dengan Israel. Banyaknya korban yang berjatuhan akibat konflik yang sudah berlangsung selama 75 tahun dan tak kunjung usai ini memantik berbagai pihak untuk memberikan dukungan dengan berbagai aksi. Salah satu aksi yang paling menyita perhatian dunia adalah “Julid Fi Sabilillah” yang digagas oleh netizen Indonesia, Erlangga Greschinov.

Gerakan ini adalah bentuk counter-response sebagai kritik realitas terhadap propaganda dan sebuah konstruk sosial oleh pihak Israel melalui media massa. Gerakan ini dipicu oleh publik yang merasa harus meluruskan disinfomasi. Berdasarkan teori Jurgen Habermas, langkah yang dilakukan publik merupakan bagian dari komunikasi intersubjektif, yaitu komunikasi yang adil antar individu, subjek, atau aktor. Komunikasi tersebut harus mengandung validasi berdasarkan klaim kebenaran, kejujuran, kejelasan, dan ketepatan agar tercipta komunikasi yang efektif, tepat sasaran, dan setara. Publik kemudian memanfaatkan berbagai pendekatan dan akses terhadap sumber informasi untuk mewujudkan komunikasi yang berkeadilan dan understanding-oriented di media sosial. 

Secara umum, gerakan “Julid Fi Sabilillah” berbentuk penyebaran informasi pribadi atau disebut teknik doxxing yang biasa ditujukan untuk menyerang seseorang melalui internet. Doxxing dilakukan dengan tindakan meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik terhadap seseorang individu atau organisasi. Pada gerakan “Julid Fi Sabilillah” informasi disebarluaskan melalui media sosial, khususnya Instagram dan X, dengan menekan tentara Israel Defense Forces (IDF) melalui komentar bersifat kritik yang bertujuan untuk memecah fokus mereka, melemahkan moral dan semangat para tentara IDF, serta memaksa mereka menutup akun media sosialnya. Tidak hanya berdampak kepada IDF, akibat aktifitas ini, Menteri Transportasi Israel pun terkena imbas dari masifnya gerakan “Julid Fi Sabilillah”. Gerakan ini dengan cepat menjadi viral dan dilirik oleh media Internasional mengingat penggagasnya adalah netizen Indonesia yang dikenal lugas dan jauh dari kata sopan di wilayah Asia-Pasifik berdasarkan Laporan Digital Civility Index (DCI) pada 2020. Narasi emosional yang dihadirkan gerakan ini efektif untuk memprovokasi warganet Indonesia lainnya dan membangun solidaritas bersama untuk berpihak pada Palestina.

Doxxing, yang secara umum dipahami sebagai cara komunikasi negatif, dalam konteks ini digunakan untuk menyajikan realitas, menyeimbangkan fakta, menyudutkan penindas militer, dan menyerang pelanggar hak asasi manusia. Bahkan, gerakan ini telah mengubah persepsi dan perilaku orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam konflik. Hal ini terbukti dapat membuahkan hasil yang masif, cepat dan menggerakan emosi, namun sebagai seorang ahli strategi komunikasi, apakah doxxing merupakan pendekatan yang tepat untuk membangun wacana publik dan meningkatkan kesadaran?

Saat ini, doxxing masih menjadi cara yang kurang populer dan termasuk ke dalam bentuk kejahatan siber karena mengungkap data pribadi, melanggar privasi data, dan mengancam keamanan data. Hal ini juga cenderung menjadi tindakan kontraproduktif sebagai respon dari pihak lawan dan dapat mengancam reputasi kita sendiri (termasuk reputasi Indonesia seperti yang terlihat pada kasus di atas). Pada saat krisis, atau saat melawan suatu gagasan, idealnya komunikasi dibangun sebagai upaya untuk mencapai perasaan yang sama dan mengonsolidasikan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Narasi harus selalu disesuaikan dengan data yang akurat dan terbukti, argumen yang logis, sementara juga dapat melibatkan unsur-unsur emosional untuk membangkitkan simpati dan empati.

Seorang konsultan komunikasi sebaiknya juga menerapkan kode etik sebagai profesional konsultan. Di Indonesia sendiri, konsultan harus mengacu pada kode etik kehumasan Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Pasal 2 tentang Penyebarluasan Informasi, dimana seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang paIsu atau yang menyesatkan, dan sebaliknya justru harus berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Seorang konsultan komunikasi berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi.

Lagi-lagi, sebagai seorang konsultan komunikasi, profesionalitas penting untuk dijunjung. Hal ini didasarkan pada etika, moral, dan kesadaran untuk menggunakan strategi yang tepat dan bahasa yang beretika dalam setiap aktivitas komunikasi yang dilakukan. Pembuatan narasi melalui pendekatan komunikasi diplomatis adalah cara yang harus dilakukan mengingat langkah ini adalah sebuah soft power skill set yang memang perlu dimiliki oleh konsultan komunikasi profesional.

Penulis: Esa Satria Palayukan, Associate ID COMM.
Editor: Dewi Bastina, Senior Account Manager ID COMM.