Empowering banget!”

“Semoga anakku paham sama kelelahan mamanya selama ini”

“Nggak nyangka film kayak gini bisa dalem banget pesannya”

Itu adalah sebagian komentar dari beberapa rekan yang menyaksikan film Barbie beberapa waktu lalu. Keterikatan emosional yang dikemas manis selama 114 menit membuat audiens, terutama perempuan, yang menonton film ini seperti menemukan teman seperjuangan alias bestie.

Memberdayakan Perempuan Lewat Boneka

Film Barbie diawali adegan anak-anak perempuan bermain boneka dengan narasi : “Dulu anak perempuan cuma bisa memainkan boneka bayi, sebab mereka hanya diharapkan untuk belajar mengasuh dan menjadi ibu di masa depan”. Tiba-tiba sebuah boneka berkaki jenjang dan mengenakan pakaian renang berwarna putih hitam muncul, yang menjadi sosok alternatif, sangat menggoncang status quo dan berkembang menjadi ‘dunia Barbie’ dimana semua perempuan berperan penting dalam kehidupan. Barbie dapat menjadi presiden, dokter, penegak hukum, dan berbagai profesi lainnya.

Mattel, sebagai produsen dan distributor Barbie, melakukan gebrakan berani dan dianggap berhasil membangun kesadaran baru melalui film ini. Seperti diketahui, stereotipe karakter Barbie sudah sejak lama menimbulkan kontroversi, karena membentuk standar baru kecantikan perempuan di dunia. Meski Mattel berinovasi lewat boneka Barbie dan Ken yang beragam, boneka stereotipikal mereka yang berkulit putih, langsing, bermata biru, dan mempunyai rambut pirang akan selalu jadi ciri khas.

Di film ini, Barbie sterotipikal yang diperankan oleh Margot Robbie, pada suatu hari mendadak malfungsi. Kakinya mendadak “rata”. Ini menujukkan bahwa ada yang salah di dunia nyata. Bersama dengan Ken yang diperankan Ryan Gosling, Barbie menjelajah dunia nyata yang ternyata bertolak-belakang dengan dunia idealnya. Barbie justru dianggap sebagai ancaman bagi perempuan pada umumnya yang gelisah dalam mempertahankan eksistensi dan menempatkan dirinya di ruang sosial, yang merasa tidak menjadi dirinya sendiri, yang takut menghadapi kompetisi – karena merujuk pada fiksi hidup sempurna yang dibangun oleh Barbie. Perempuan di dunia nyata merasa Barbie hanya relevan di sepotong fase kehidupan, yang selebihnya merupakan perjuangan keras tiada habisnya – jauh dari mimpi yang ditawarkan oleh figur yang telah diproduksi sejak 9 Maret 1959 ini. Dalam film ini, Mattel seolah “mengaku dosa” telah menjadi perusahaan yang justru membuat perempuan lebih sengsara dan tertekan tuntutan untuk selalu tampil paripurna ketimbang termotivasi, percaya diri dan bahagia.

Secara menarik, film ini berupaya mengakomodir kegalauan para pria atas menguatnya kemandirian dan keberdayaan perempuan. Pria – yang diwakili Ken – menyimpan perasaan terancam atas dominasi perempuan dan mencoba meredefinisi makna maskulin. Ken dan para Ken lainnya kemudian mencoba mengambil alih posisi kepemimpinan dan mengecilkan peran perempuan agar hidup terasa lebih seimbang. Dengan berani, film yang penuh warna cerah ini ‘menabrakkan’ peran gender dan mengangkat divisi posisi dalam kehidupan, yang masih saja menjadi isu dan konflik antara laki-laki dan perempuan hingga hari ini.

Dikemas oleh sutradara feminis, Greta Gerwig, film ini juga memotret dimensi lain yaitu romantika hubungan Ibu dan anak remaja. Mengangkat kemurungan seorang remaja akibat melihat sang ibu yang stres, membuka tabir keresahan seorang ibu yang sekaligus adalah perempuan bekerja, dan perasaan seorang remaja dalam perjalanannya tumbuh dewasa bergulat dengan perjuangan membentuk diri. Kejelian menggugah kesadaran emosional lintas generasi ini dikemas sangat apik. Film ini tidak saja menjadi vitamin bagi para generasi X dan Y yang tengah bergulat dengan tantangan kehidupan dan nilai-nilai patriarki, seperti peran ganda dan perjuangan mencapai posisi strategis, tapi juga membuka pengetahuan generasi Z tentang kesetaraan peran gender.

Barbie kemudian mengajak audiens-nya untuk menyadari bahwa perempuan dapat berperan dalam setiap aspek kehidupan. Bahwa perempuan berperan bersama pria (dan sebaliknya) adalah sebuah keniscayaan – bukan sebuah kompetisi.

Strategi Komunikasi dan Pemasaran yang Terintegrasi

Kejelian tim komunikasi dan pemasaran Barbie meramu isu sosial kesetaraan peran gender membuat merek ini kembali mengukuhkan posisinya sebagai merek paling ikonik di dunia modern. Menjelang perilisan film Barbie, diciptakanlah “Barbie mania” di kalangan para penggemarnya dengan membangun rasa ingin tahu dari target audiens baru, melalui kampanye media sosial, pemasaran dengan pengalaman langsung, serta melalui kemitraan dengan sejumlah merek.

Akun Instagram resmi Barbie telah merilis teaser film sejak 16 Desember 2022. Secara konsisten, komunikasi melalui media sosial dilakukan dengan melibatkan sejumlah merek dan komunitas. Pada beberapa unggahannya, Barbie menunjukkan pesan pemberdayaan dengan memperlihatkan diri sebagai kapten maskapai penerbangan, juga menjadi teman bermain ayah dan anak perempuannya.

Barbie juga mengajak audiens-nya untuk berani berekspresi lewat #barbiechallenge yang dikemas dalam berbagai unggahan di media sosial. Di Indonesia, para influencers berlomba menggungah konten akting layaknya boneka Barbie, yang memicu konten-konten serupa dari publik. Merujuk Google, kata kunci “Barbie” menjadi top pencarian sejak awal tahun 2023, meliputi karakter pemain, cerita, boneka, dan soundtrack.

Kerjasama merek pun semakin bervariasi menjelang dan setelah dirilisnya film ini, termasuk sejumlah merek yang berkolaborasi dengan Barbie, seperti ALDO, NYX, Zara, dan lainnya – yang meluncurkan desain fashion khusus bertema Barbie. Mengutip Kompas (Juli 2023), sekitar 100 merek berkolaborasi dalam film Barbie dan diperkirakan ada 86.000 artikel tentang Barbie sejak Januari di berbagai media. Kesuksesan ini tidak hanya berpengaruh pada kembali menguatnya merek Barbie, namun berdampak pada kenaikan penjualan boneka itu sendiri hingga kenaikan saham Mattel.

Menggunakan pesan sosial untuk mendongkrak kembali kesadaran dan bahkan posisi sebuah merek atau korporasi adalah sebuah strategi komunikasi yang jitu. Meski demikian, strategi ini perlu dikemas dalam perencanaan yang matang dan timeline kampanye jangka panjang. Perencanaan matang mencakup upaya untuk mengenali mitra potensial atau komunitas sosial yang tepat, termasuk para influencers hingga tokoh-tokoh kunci terkait isu sosial yang akan diangkat. Langkah ini menjadi tantangan terbesar, karena kerap dijumpai adanya ketidaksepahaman antara pemilik merek dengan para pegiat sosial, layaknya dua kutub yang bertolak belakang. 

Menyoroti Isu Sosial Melalui Pendekatan yang Popular

Ketepatan dalam meramu isu, termasuk sejauh mana akan membahas kedalamannya menjadi faktor penting kerberhasilan kampanye. Sebuah merek atau korporasi yang berorientasi pada keuntungan kerap ditunding sebagai menunggungi isu sosial dan tidak memberikan solusi. Oleh karena itu, penting memahami sejauh mana sebuah merek dan korporasi mampu memberikan solusi atas masalah tersebut dan memahami keterbatasannya. Sebaliknya, para pegiat sosial rasanya perlu melunakkan idealisme dan memikirkan jangkauan yang dapat diperluas dan dampak lebih besar yang dapat diciptakan melalui sebuah kolaborasi. Layaknya ekosistem, hubungan simbosis mutualisme perlu dibangun untuk mencapai tujuan, setidaknya pada level tertentu. Misalnya, bagaimana sebuah kolaborasi dapat menghasilkan disksusi digital yang kemudian dapat diperluas dan diperdalam lagi melalui strategi berikutnya. Perlu diingat pula, bagaimana pun cara menyampaikan sebuah gagasan sosial, sepatutnya disesuaikan dengan profil psikografi dan saluran komunikasi dari target audiens tersebut.

Pada akhirnya, keberhasilan kampanye sebuah isu sosial teletak pada kesepakatan dan keterikatan emosi yang ingin diangkat oleh ‘dua kutub’ tadi. Di satu sisi, pemilik merek perlu membangun value lebih untuk mempertahankan eksistensinya di era yang semakin kritis akan perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih baik. Sementara di sisi lain, para pegiat sosial sesungguhnya dapat memaksimalkan kekuatan audiens dan sumber daya yang dimiliki pemilik merek. Pembahasan ini mutlak perlu dikomunikasikan dengan lebih intens antara kedua kutub, supaya tercapai tujuan masing-masing pihak.

Penulis: Dewi Bastina, Senior Account Manager ID COMM.