Para model papan atas melakukan perjalanan ke sebuah pulau di Bahama untuk membuat video promosi festival musik. Mereka diminta memposting keseruan liburan eksotik dan mewah dalam balutan pesta dengan berbagai fasilitas eksklusif seperti yacht, jet ski, bahkan pesawat jet pribadi. Dalam sekejap, konten para model ini viral di media sosial dan diperbicangkan publik. Tidak berhenti pada postingan para model, ratusan influencer digandeng oleh pengagas festival untuk menggaungkan festival tersebut. Layaknya ungkapan “social media do your magic”, postingan ini membuat ratusan orang ingin datang ke festival tersebut, memesan tiket, dan mendepositkan uang sebagai jaminan kenyamanan selama festival. Pada kenyataanya, festival yang dikenal dengan Fyre Festival hanyalah sebuah aksi penipuan dari seorang entrepreneur Billy McFarlan. Tidak ada pulau dan konser eksklusif, apalagi fasilitas mewah yang dijanjikan. Para influencer diserang oleh publik, karena dianggap menyampaikan kebohongan. Beberapa influencer meminta maaf dan memberikan pernyataan tidak mengetahui ada maksud jahat dibaliknya.
Film dokumenter produksi Netflix “Fyre: The Greatest Party That Never Happened” membuktikan bahwa influencer bisa sangat berpengaruh. Begitu mudah publik percaya dan berani mengambil keputusan setelah melihat panutan mereka menggunakan atau menyatakan sesuatu. Label yang diberikan kepada para model tersebut, influencer, adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi publik melalui konten yang mereka hasilkan. Meski demikian, di era digital yang sangat terbuka, publik secara terang-terangan mempertanyakan tanggung jawab dari para influencer.
Film ini mengingatkan saya pada influencer engagement sebagai salah satu strategi yang diminati oleh beberapa klien IDCOMM. Ketika memasuki industri public relations pada tahun 2017, strategi influencer engagement cukup popular di kalangan klien brand. Para klien memahami bahwa review atau testimoni dari influencer dapat meningkatkan brand awareness yang berujung pada peningkatan penjualan. Sayangnya, terkadang klien berharap penjualan dapat meroket secara instan melalui penggunaan influencer sehingga tujuan awareness “kalah” dengan penjualan. Pesan kunci yang disampaikan berulang pada hal yang monoton dan kurang mengeskplorasi taktik kehumasan, seperti storytelling yang berkelanjutan, dan inovasi penyampaian pesan.
Berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, beberapa klien yang fokus pada penerapan C4D (communications for development) juga mulai melirik strategi influencer engagement untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Tidak bisa dipungkiri keberhasilan Presiden Jokowi dalam pemilihan Presiden RI tahun 2014, termasuk juga kekalahan Ahok pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 adalah bukti dahsyatnya pengaruh influencer di media sosial. Meski sudah ada geliat untuk memaksimalkan strategi ini, rasanya tahun 2021 menjadi tahun yang cukup menantang, dimana strategi influencer engagement diterapkan untuk mendorong perubahan perilaku atau behavior change. Klien yang terlibat dalam kampanye pembangunan seringkali menganggap kolaborasi dengan influencer dapat dilakuakn secara non-transaksional. Padahal, pada waktu yang bersamaan, kita ketahui bekerja sama dengan para influencer cenderung bersifat transaksional. Para klien juga mengharapkan perubahan perilaku melalui periode singkat dan kuantitas influencer yang seefisien mungkin.
Lantas seperti apa peran praktisi kehumasan dalam mempersiapkan influencer sebagai agen penyampai pesan? Peran mereka tentunya bukan hanya sekedar berselancar di dunia maya dan menyiapkan daftar influencer, tapi juga bertanggung jawab menentukan influencer yang tepat dan membekalinya dengan pemahaman kampanye komunikasi secara menyeluruh. Lalu, bagaimana menjamin bahwa influencer yang diajukan 100% tepat? Diperlukan tahapan-tahapan tepat saat melakukan influencer engagement, yaitu memahami ekspektasi klien, mencari insight dan screening, membangun relasi dan memastikan pesan kunci tersampaikan dengan benar, dan menganalisa kinerja influencer. Tahapan-tahapan ini yang perlu terus dikomunikasikan pada klien dan influencer, bahwa kerja sama ini bukan hubungan transaksional semata, tapi merupakan tanggung jawab bersama agar pesan yang dikomunikasikan tersampaikan dengan baik dan tepat.
Ekspektasi Klien
Ekspekstasi atau obyektif dari sebuah kampanye komunikasi adalah aspek terpenting dalam menentukan strategi komunikasi. Seorang praktisi kehumasan diharapkan dapat menjadi pendengar dan memberikan solusi terbaik. Dalam sebuah kampanye komunikasi digital terdapat beberapa obyektif, yaitu awareness, consideration dan conversion. Pada tahapan awareness, sebuah kampanye ditujukan untuk memperluas penyebaran informasi dan memberikan pengetahuan pada publik. Sementara, consideration ditujukan untuk membuat publik semakin meyakini dan menginternalisasi sesuatu hal, sedangkan conversion bertujuan mengarahkan publik untuk mengambil aksi atau tindakan, baik itu berupa pembelian, perubahan perilaku atau aksi nyata lainnya.
Pelibatan influencer dapat membangun awareness, karena para influencer ini memiliki sejumlah pengikut loyal, mampu mengemas pesan secara menarik, dan mampu membangun interaksi. Pada obyektif ini, pelibatan Influencer secara konsisten dan masif dapat memberikan dampak yang signifikan. Ketika harapan meningkat pada consideration dan conversion, maka diperlukan pelibatan influencer yang mempunyai kemampuan meyakinkan publik dengan track record yang kredibel. Misalnya, ketika obyektif kampanye adalah mengajak orang untuk membeli produk, maka diperlukan pelibatan influencer yang mampu menjual produk. Indikator kesuksesan dari influencer ini dapat dilihat dari seberapa banyak jumlah click yang ditautkan pada postingan atau jumlah pembelian dengan memberikan kode khusus kepadanya. Semakin kompleks objektif yang diinginkan, maka strategi pelibatan influencer yang diterapkan bisa semakin komprehensif. Sebagai contoh, strategi dapat melibatkan berbagai level influencer, memberikan pelatihan khusus dan special treatment bagi para influencer, melakukan riset, memaksimalkan variasi konten, dan masih banyak lagi, termasuk investasi substansial.
Mencari insight dan screening
Setelah mengetahui obyektif sebuah kampanye komunikasi, langkah yang harus dilakukan seorang praktisi kehumasan adalah membuat daftar Influencer yang sesuai untuk kemudian diperkuat dengan pencarian insight. Beberapa indikator yang lazim digunakan dalam menentukan influencer adalah jumlah pengikut, engagement rate, dan kesesuaian feed atau postingan dengan kampanye. Pertimbangan dalam memilih influencer dapat diperkuat dengan insight yang lebih komprehensif melalui tahapan screening atau penyaringan terhadap influencer terkait minat, visi dan target audiens. Belajar dari sebuah kampanye perubahan norma gender oleh ID COMM, screening terhadap para influencer bahkan dilakukan dengan tahapan yang cukup rumit dan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Tahapan dilakukan melalui mapping atau pemetaan terhadap influencer yang dinilai mempunyai visi dan minat yang sejalan, dilanjutkan dengan tahapan riset baseline yang melihat karakteristik pengikut, wawancara pra kampanye dengan para influencer, dan pelibatan influencer secara profesional. Memahami latar belakang influencer menjadi syarat yang tidak kalah penting untuk memastikan influencer yang dilibatkan tidak memiliki catatan pelanggaran hukum, tidak terafiliasi dengan partai atau tokoh politik, atau bahkan tidak menerima endorse produk rokok. Pertimbangan pemilihan influencer yang sejalan dengan kampanye juga dibutuhkan.
Membangun relasi dan memastikan kesesuaian pesan kunci
Seorang praktisi kehumasan diharapkan mempunyai kemampuan untuk membangun relasi dengan influencer. Hal ini penting, mengingat praktisi kehumasan memegang peran krusial dalam meneruskan pesan kunci kepada influencer dan memastikannya tersampaikan secara tepat. Pembuatan panduan komunikasi, briefing, proses approval, hingga mendapatkan capaian konten dari influencer merupakan tanggung jawab praktisi kehumasan. Sikap yang luwes, persuasif, dan kemauan untuk terus memperkaya pengetahuan menjadi modal utama saat bekerja sama dengan influencer. Bukan rahasia lagi, terkadang para influencer sulit sekali dijangkau karena padatanya aktivitas mereka.
Apa yang perlu dilakukan praktisi kehumasan jika influencer salah dalam menyampaikan pesan? Kuncinya kembali lagi pada relasi yang baik. Jika praktisi kehumasan memiliki relasi yang kuat, pendekatan persuasif dapat dilakukan untuk meminta influencer melakukan revisi. Para praktisi bisa melakukan pendekatan ini ketika influencer memiliki aturan yang ketat namun banyak revisi perlu dilakukan. Disinlah kemampuan negosiasi menjadi sangat penting, baik dalam meminta kelonggaran pada influencer dan mengedukasi klien.
Analisa terhadap kinerja influencer
Pada suatu kesempatan, ketika ID COMM baru saja menyelesaikan kampanye komunikasi digital mengenai climate change, seorang klien bertanya terkait detil laporan media sosial yang diberikan. Ia bertanya, “Apa arti angka-angka itu? Apakah benar semua kegiatan menjangkau jutaan reach?”. Pertanyaan ini mengindikasikan perlunya laporan sosial media yang komrprehensif dengan menggabungkan engagement, reach dan impressions. Engagement adalah interaksi yang tercipta dari sebuah konten, berupa like, komentar, share, dan bookmark. Sementara reach adalah estimasi jumlah audiens yang berhasil dijangkau oleh sebuah konten, dan impressions merupakan estimasi jumlah seberapa sering sebuah konten dilihat oleh publik. Engagement menjadi ukuran utama karena tingginya angka engagement menunjukkan seberapa terampil seorang influencer mampu menggugah publik. Selain pengukuran kuantitatif, praktisi kehumasan dapat melengkapi laporan sosial media melalui analisa komentar dan riset terhadap pengikut. Melalui dua metode ini, kita bisa menemukan tanggapan publik dan mendapatkan insight yang dapat dijadikan rekomendasi di masa mendatang.
Influencer engagement merupakan strategi komunikasi yang terbukti efektif dan sesuai dengan kondisi saat ini. Namun sudah sewajarnya praktisi kehumasan melakukan tahapan-tahapan sebelum menyarankan klien menggunakan strategi ini. Dengan demikian, sebuah kampanye komunikasi akan terasa lebih genuine dan tidak transaksional semata.
Penulis: Dewi Bastina, Senior Account Manager ID COMM.