Nama Sari Soegondo kian populer di kalangan public relations ketika ia terpilih sebagai Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan PR Indonesia (APPRI) periode 2020 – 2023. Co-founder dan Direktur Eksekutif ID COMM ini bahkan sudah beberapa kali didapuk menjadi pembicara di acara PR INDONESIA. Terakhir, sebagai pemateri di PR INDONESIA Outlook (PRIO) 2021, akhir November lalu.

Jumat (15/1/2021), PR INDONESIA berkesempatan mengenalnya lebih dalam. Ternyata, di balik sosoknya yang kalem, peraih gelar master Komunikasi Korporat dari FISIP Universitas Indonesia ini dikenal aktif dan cenderung mampu mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan alias multitasking.

Ia juga merupakan pribadi yang memiliki kesungguhan, ketekunan, dan berkeinginan kuat. Buktinya, ibu dari dua anak yang awalnya bercitacita mengikuti jejak almarhum ayahnya menjadi dokter itu, memilih mengambil keputusan berani, bersama rekannya, mendirikan ID COMM. Tujuannya, bukan sekadar memanfaatkan ceruk potensi untuk memberikan dukungan strategi, program komunikasi dan kehumasan. Lebih dari itu, ingin menjadi bagian dari perubahan nyata melalui komunikasi. Kepada Ratna Kartika dari PR INDONESIA, Sari berkisah.

Pandemi COVID-19 turut berdampak pada aktivitas konsultan PR. Seperti apa dinamika yang dialami di ID COMM dan agensi PR lokal pada umumnya di masa ini? Apa tantangan terbesar yang dirasakan?

Seperti halnya yang terjadi di seluruh dunia dan sebagaimana dibuktikan oleh berbagai telaah yang saya presentasikan beberapa saat lalu di forum PR INDONESIA Outlook 2021, praktisi komunikasi dan kehumasan, terutama para konsultan di Indonesia saat ini bekerja dalam mode dan pola yang sangat fleksibel.

Kami termasuk kelompok profesi yang dapat bertahan dan tetap terus bekerja secara efektif dan produktif meski di tengah pembatasan sosial. Selama hampir satu tahun terakhir ini, kami hampir tidak pernah ke kantor dan bekerja remotely dengan seluruh tim serta klien. Ini membuktikan bahwa kita bisa bekerja ala plug and play.

Hampir semua kegiatan koordinasi maupun implementasi kegiatan pindah ke ranah digital dan dilakukan secara maya. Kondisi ini juga bisa jadi mengubah metode kerja seterusnya. Bahkan, memberi sentuhan baru bagi model bisnis agensi PR lokal, yang mungkin tidak lagi membutuhkan station khusus untuk menjalankan pekerjaannya.

Karena hampir seratus persen kegiatan kini beralih ke platform digital, maka konsultan PR pun dituntut untuk terampil memproduksi solusi dan konten media sosial digital secara cepat dan berkualitas.

Kolaborasi dengan talenta yang bukan berlatar belakang PR pun meningkat sangat tinggi di masa ini. Kami bekerja lebih erat dengan rekan-rekan desainer grafis, programmer, web developer, fotografer, videografer, multimedia producer, hingga on-line event organizer.

Di lain sisi, di masa pandemi ini muncul permintaan-permintaan unik dari klien di luar kebiasaan di masa lalu. Misalnya, jumlah kebutuhan untuk membantu manajemen isu dan manajemen krisis menjadi lebih tinggi, atau kebutuhan untuk mendukung komunikasi internal secara lebih strategis juga menjadi cukup banyak. Semua ini akibat tekanan pandemi dan resesi ekonomi saat ini. Banyak dari klien yang melakukan rasionalisasi jumlah karyawan, pengalihan layanan, penutupan cabang, dan lainlain. Demikian pula dengan kebutuhan untuk re-branding karena perusahaan melakukan diversifikasi atau bahkan pivot usaha.

Sebagai konsekuensi logisnya, banyak agensi lokal yang mengalami pengurangan bobot kerja atau periode kerjasama dengan kliennya. Kontrak kerja sama yang sebelumnya bersifat retainer disesuaikan menjadi on ad hoc basis, atau dukungan layanan agensi menjadi lebih sedikit, untuk menyiasati biaya. Sebagai efek domino, agensi-agensi lokal perlu menyesuaikan biaya operasionalnya. Umumnya, industri kami memberlakukan pemotongan gaji karyawan secara proporsional. Atau, terpaksa merumahkan/mengurangi jumlah karyawan, meski mungkin untuk sementara.

Bagaimana solusinya?

Secara umum, kondisi awal saat pandemi membuat seluruh bisnis kaget dan menghentikan business as usual. Hal ini mendorong kami untuk segera memberlakukan survival mode. Terutama, dengan melakukan penghematan secara internal. Kami juga terpaksa memberlakukan penyesuaian gaji karyawan secara proporsional, meski untungnya tidak perlu sampai memberhentikan staf.

Perlahan-lahan, ketika adaptasi terhadap kondisi sudah mulai lebih baik, klien dan staf sudah lebih terbiasa menggunakan digital platform sebagai backbone untuk melakukan bisnis, maka pekerjaan berjalan kembali dalam kenormalan baru.

Tentunya, ada beberapa fleksibilitas yang kami tawarkan, seperti paket layanan yang lebih terjangkau maupun sistem pembayaran yang lebih leluasa. Misalnya, klien yang selama ini aktif membuat kegiatan publik, saat ini perlu membangun hubungan baru dengan jejaring online. Maka, kapabilitas kami kini banyak difokuskan pada manajemen influencers dan pemuka opini yang didukung kompetensi PR, hadir lengkap dengan kesiapan mereka akan substansi topik.

Di tataran industri, melalui APPRI, kami mempererat kolaborasi untuk bisa sama-sama selamat melalui krisis ini. Kami bahkan melakukan presentasi dan pendekatan kepada calon klien secara bersama-sama untuk membuka opsi penyedia jasa lebih banyak bagi mereka. Hal ini berarti kami berbagi rezeki dan mengonversi beban di pundak sendiri kepada rekan-rekan sejawat lain yang ahli di bidangnya.

Terobosan dan kreativitas apa yang selama hampir setahun pandemi ini yang sudah dilakukan?

Fokus pada kapabilitas komunikasi digital, pembangunan komunitas, penyelenggaraan kegiatan secara online, serta penguatan database jejaring dan mitra kerja, sehingga dapat menjangkau kelompok komunitas yang lebih luas.

Secara internal, bagi kami, pandemi justru menjadi momentum yang strategis untuk membangun kapasitas digital tim. Selain pelatihan internal, kami juga lebih leluasa mengikuti berbagai pelatihan yang tersedia secara online.

Menurut Anda, hikmah apa yang dirasakan bagi ID COMM dan agensi PR pada umumnya dengan adanya pandemi ini?

Kondisi ini menjadikan daya juang kami semua menjadi lebih tinggi, lebih kreatif dalam menciptakan solusi dan proposal layanan, lebih berani mencoba hal baru dan mengambil risiko, lebih sadar akan keprihatinan dan makin peka terhadap kondisi sekitar.

Seperti apa latar belakang karier Anda?

Karier saya kebetulan sepenuhnya linear dengan latar belakang keilmuan yang saya miliki di bidang komunikasi. Saya memulai pekerjaan sebagai konsultan junior di salah satu agensi periklanan kecil bernama Times Communications tahun 1999. Kemudian, saya melanjutkan perjalanan bekerja di Bank Bali yang sekarang bernama Bank Permata sebagai PR Officer untuk External Communications.

Di masa bekerja di korporasi tersebut, saya tertarik untuk merambah dunia media hiburan dan gaya hidup. Saya pun hijrah ke Group MRA Media sebagai tim pembuka MTV Sky Radio—sekarang Trax FM—hingga menjadi Advertising and Promotions Manager. Sejalan dengan jabatan tersebut, saya dipercaya untuk secara paralel menangani Majalah MTV sebagai Advertising and Promotions Head. Setelahnya, saya dipromosikan menjadi Advertising and Promotions Manager di Hard Rock FM yang melayani segmen pendengar lebih dewasa.

Pengalaman saya sebagai penanggung jawab untuk kegiatan promosi dan periklanan, hubungan masyarakat (humas) dan dukungan terhadap bentuk-bentuk pemasaran lainnya, rupanya menarik minat RCTI yang kala itu membutuhkan Group Sections Head untuk Off Air and Media Promotions. Saya pun memutuskan untuk mengambil tantangan itu dengan melayani audiens nasional di RCTI tahun 2003 – 2006.

Proses bekerja di RCTI menyadarkan saya untuk terus mengasah ilmu, strategi, dan konsep komunikasi, melampaui kerja lapangan yang menjadi bagian dari dinamika kerja di RCTI sehari-hari. Oleh karenanya, saya kemudian menerima tawaran untuk bekerja di perusahaan konsultan komunikasi dan kehumasan internasional yang merupakan bagian dari McCann Group Worldwide.

Pekerjaan baru ini menjawab kehausan saya terhadap dunia komunikasi dan kehumasan yang sesungguhnya, membuka wawasan, serta menumbuhkan ketertarikan saya untuk terus menjadi konsultan profesional. Saya pun terekspos berbagai inisiatif serta kebutuhan klien, baik yang bersifat komunikasi korporasi, komunikasi pemasaran produk atau jasa, maupun komunikasi untuk urusan publik luas. Saya menghabiskan tujuh tahun masa kerja hingga 2013, dengan menggawangi dua firma sekaligus, yaitu WeberShandwick dan GolinHarris (sekarang Golin), dengan jabatan terakhir sebagai Director.

Lantas?

Karier yang cukup panjang di biro konsultan internasional tersebut terpaksa teralihkan, ketika aspirasi saya muncul untuk memiliki keleluasaan dalam memilih topik dan sektor dari proyek yang ditangani. Tahun 2013, saya mengundurkan diri dari WeberShandwick dan GolinHarris untuk mengejar aspirasi bekerja secara independen sebagai konsultan komunikasi pembangunan di dua institusi sekaligus di sepanjang tahun 2014. Yaitu, Kantor Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium Development Goals (MDGs) dan Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi serta Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+).

Bersamaan dengan kesibukan tersebut, saya dan mitra usaha saya, Asti Putri, mulai membibit firma butik yang kemudian menjadi “rumah” baru kami semua, yaitu PT Indo Dharma Komunika atau dikenal dengan nama ID COMM, yang berdiri secara resmi pada 14 April 2014. ID COMM saat ini didukung oleh 15 orang konsultan tetap, serta sejumlah konsultan paruh waktu.

Apa yang melatarbelakangi Anda mendirikan ID COMM?

Saya melihat masih banyak sektor dan ceruk-ceruk pekerjaan yang membutuhkan dukungan strategi program komunikasi dan kehumasan. Kesadaran akan pentingnya strategi dan program komunikasi dan kehumasan yang dulu mungkin didominasi sektor swasta, tampak semakin meningkat di sektor publik.

Terutama, akibat hadirnya media sosial sebagai saluran komunikasi yang paling banyak diminati dan medium untuk mendiseminasikan informasi. Bagaimana negara dan sektor-sektor pembangunan berkomunikasi dan membangun reputasinya, saat ini menggunakan teknik yang sangat berbeda dibandingkan 1 – 2 dekade lalu. Otonomi daerah di mana pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menjadi lebih kuat, lebih-lebih menjadikan komunikasi dan kehumasan begitu relevan sebagai aspek penting di berbagai lini pembangunan daerah.

Kebangkitan kewirausahaan di Indonesia yang banyak dipimpin oleh generasi milenial juga turut mengubah lansekap dunia bisnis di tanah air kita secara signifikan. Ditambah lagi, disrupsi teknologi transformasional yang menjadi pencetus lahirnya perusahaan-perusahaan rintisan berbasis teknologi, yang menciptakan produk-produk dan jasa-jasa unik, bisa jadi sangat berbeda dengan yang pernah dikenal konsumen, nasabah, atau pengguna di masa lalu.

Di antara korporasi dan brand konsumen, kesadaran akan pentingnya harmonisasi usaha dengan dinamika eksternal juga terus meningkat. Sehingga, saat ini tercipta kesadaran yang lebih tinggi akan aspek ESG (environmental, social, and corporate governance). Fungsi public relations (PR) semakin diperhitungkan, tidak saja sebagai mata dan telinga untuk mengamankan operasi usaha, tetapi lebih jauh sebagai pemberi masukan strategis bagi pengembangan usaha, dan keputusan-keputusan penting perusahaan. Kini banyak perusahaan sudah at its higher level berkat dukungan cerdas tim humasnya.

Oleh karena itu, saya merasa membutuhkan “kendaraan” yang meski mungkin lebih kecil, tetapi bisa bergerak lebih lincah berselancar di pasar Indonesia dan mengeksplorasi blue ocean yang mungkin belum banyak dijamah oleh para praktisi. “Kendaraan” ini saya harapkan dapat membebaskan saya dan tim untuk memandang lebih jauh ke depan, memilih jenis klien, serta mempertimbangkan kedalaman dan cakupan programnya.

Saya sangat percaya bahwa salah satu kunci sukses bisnis komunikasi dan kehumasan adalah pengenalan dan penguasaannya yang baik terhadap audiens lokal. Konsultan lokal umumnya dapat membawa misi dengan lebih baik kepada audiens nasional, sehingga ini menjadi kesempatan besar bagi ID COMM dan praktisi-praktisi lokal seperti kami.

Kami ingin klien merasakan pengalaman baik bersama ID COMM, yang meski berskala butik tetapi menunjukkan profesionalisme tidak kalah berkualitas dengan perusahaan multinasional atau perusahaan raksasa di industri ini. ID COMM diharapkan dapat terus berkembang dan memperkenalkan klien dengan ragam seni komunikasi dan kehumasan yang saat ini tekniknya sangat inovatif dan alat kerjanya sangat konvergen. Termasuk, memastikan bahwa kesuksesan kampanye dan program komunikasi yang dijalankan dapat terukur dengan baik.

Apa layanan yang ditawarkan dan menjadi keunggulan ID COMM?

ID COMM pada dasarnya melayani klien yang mewakili korporasi, brand konsumen, atau sebuah inisiatif pembangunan. Portofolio kami di urusan komunikasi pembangunan terhitung cukup baik dan kapabilitasnya terus kami bangun. ID COMM memiliki ketertarikan khusus dan kemampuan untuk bergelut di urusan publik (public affairs), dengan memposisikan diri sebagai salah satu pelaku aktif pembangunan. Kami memiliki catatan sukses antara lain bekerja di sektor kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, perubahan iklim, inklusi sosial, perlindungan hak anak, dan diplomasi internasional. Sesuai mission statement kami, we work through strategic communications for the betterment of Indonesia.

Selama menjadi PR, apa pengalaman yang paling berkesan?

Menjadi tim strategis kampanye edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya kanker serviks di kalangan perempuan, dan menjadi tim strategis advokasi penggunaan bahasa ibu bagi murid sekolah dasar di Papua. Serta, berhasil mendorong pembuatan kebijakan berbasis data. Saya merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atas keberhasilan tim kami pada waktu itu. Khususnya, dalam mengawal kedua isu tersebut.

Terkait kampanye publik akan bahaya kanker serviks, upaya yang kami lakukan bersama Yayasan Kanker Indonesia ini berhasil memopulerkan dan menjadikan kanker serviks saat ini sebagai salah satu penyakit paling diwaspadai di kalangan perempuan. Kampanye yang menggandeng sejumlah selebriti dan tokoh masyarakat ini juga mampu membangkitkan kesadaran dan aksi untuk mengambil langkah prevensi sebagai satu-satunya jenis kanker yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Sebelum kampanye ini menggema, hampir tidak ada orang awam di Indonesia yang familiar dan paham soal kanker serviks.

Bagaimana dengan pengalaman mengadvokasi penggunaan bahasa ibu bagi murid sekolah dasar di Papua?

Saya dan tim mengawalinya dengan melakukan advokasi konsep Pendidikan Multi-Bahasa Berbasis Bahasa Ibu sebagai hasil penelitian “Perencanaan Strategis Pendidikan di Wilayah Pedesaan dan Terpencil Tanah Papua”. Kami bekerja di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan berkolaborasi erat dengan para pakar pedagogi, pakar linguistik, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya, Universitas Cenderawasih, sejumlah Yayasan, pers nasional serta media lokal. Advokasi ini berhasil meresmikan penggunaan bahasa ibu di dalam kelas bagi murid kelas 1-3 yang beberapa di antaranya hampir punah di wilayah pilot yaitu Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya.

Kedua pengalaman ini menorehkan kesan mendalam dan kepuasan batin yang besar. Sebab, saya menjadi bagian dari sebuah tim yang efektif dapat membuat perubahan nyata dan kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Inilah hakikat pekerjaan kami yang sebenarnya.

Ketika dihadapkan dalam situasi krisis, menurut Anda, apa langkah taktikal yang sebaiknya dilakukan oleh PR?

Tidak bersikap panik, tetap berkepala dingin dan berpikir jernih. Mengedepankan sikap obyektif dalam memandang krisis, melandaskan diri pada fakta sebenarnya, menghimpun informasi yang terpercaya, atau data yang teruji. Tak kalah penting, menjalankan protokol atau panduan komunikasi bagi penanganan krisis, mengikuti jalur komando dan menjaga mekanisme kerja yang baik, melokalisasi masalah, fokus pada penyelesaiannya, mengeksplorasi opsi-opsi yang dapat memperkecil risiko.

Lainnya yang juga harus dimiliki PR, apalagi di situasi krisis, adalah peka dan fleksibel dalam merespons dinamika situasi, terus memelihara sikap positif, menguasai pesan dan argumen, menghormati dan bekerja sama baik dengan semua pihak yang terkait. Galang solidaritas dengan pihak-pihak pendukung, jangan terjebak dan lepas kendali dalam tekanan situasi dan intimidasi, jangan melebarkan masalah apalagi hingga berpotensi menciptakan problem baru. Dan, jangan lupa untuk memikirkan dan menjalankan manajemen dampak.

Era digital mendorong dunia komunikasi berkembang begitu dinamis. Bagaimana cara Anda beserta tim menyamakan kecepatan/perubahan?

Tim ID COMM rajin mengikuti tren, mengamati inovasi, dan memperluas jejaring. Kami terus berupaya menyilangkan anggota tim kerja untuk tiap klien yang berbeda. Dengan strategi ini diharapkan memacu tumbuhnya ide-ide segar dan kreativitas, semangat baru, serta pengalaman yang berbeda dengan komposisi rekan tim yang lain. Selain itu, kami bekerja lebih erat dengan rekan-rekan desainer grafis, programmer, web developer, fotografer, videografer, multimedia producer, serta online event organizer untuk menyesuaikan diri dengan cepatnya perubahan.

Menurut Anda, apa perbedaan PR dulu dengan sekarang?

Banyak, ya, perbedaannya. Hal yang menjadikannya paling signifikan, tentu saja, adalah fenomena lahirnya media sosial yang pada dasarnya merupakan media yang konvergen. Hal ini menjadikan overflow informasi, transparansi yang sangat tinggi, bergesernya informasi pribadi ke arah publik, rentannya peredaran disinformasi, serta terdisrupsinya tatanan etika dan keamanan siber. PR saat ini tidak hanya berperang melawan disinformasi dan ancaman deep fake yang memanfaatkan teknologi tingkat tinggi, namun juga dihadapkan pada tantangan singkatnya fokus yang bisa dipertahankan oleh audiens.

Sementara di saat bersamaan, publik semakin vokal, kritis, dan aktif berkontribusi dalam inisiatif-inisiatif sosial. Kelompok muda semakin terbuka dan berani menyampaikan pendapat dan menunjukkan sikapnya, termasuk dalam urusan politik. Ini menjadikan semua orang bisa menjadi produsen pesan dan pemengaruh opini, dengan kepentingan yang berbeda-beda. Cara masyarakat membangunan hubungan kini juga berbeda, basis komunitas tidak jarang dibangun secara online terlebih dahulu, sebelum secara offline.

Jadi singkatnya, PR masa kini berhadapan dengan lingkungan yang sangat dinamis, komunitas yang lebih heterogen, super cepatnya pertukaran informasi, tingginya tuntutan pemilik pesan, serta demokrasi dan kebebasan berekspresi yang lebih besar, dibandingkan PR di masa lalu.

Dengan perubahan kondisi tadi, kompetensi apa yang harus dimiliki PR saat ini?

Pertama, menguasai teknologi informasi, komunikasi dan alat kerja manajemen proyek secara digital. Kedua, kemampuan coding/programming dan literasi komputasi yang lebih tinggi akan menjadi nilai tambah. Ketiga, kemampuan menulis tetap menjadi syarat utama. Bahkan, saat ini perlu ditambah dengan keterampilan bernarasi secara khas di platform digital. Keempat, mampu bekerja jarak jauh secara kolaboratif dengan minimum supervisi dari atasan, tanpa mengorbankan kualitas hasil, ketelitian, dan ketepatan waktu penyelesaian.

Yang kelima, memahami manajemen sumber daya manusia, bekerjasama secara efektif dan efisien. Keenam, kreatif, bergagasan segar, inovatif, responsif terhadap perubahan situasi umum. Ketujuh, jeli melihat kesempatan baik untuk kepentingan perusahaan/klien, maupun untuk pengembangan diri. Kedelapan, tetap fleksibel apabila dituntut untuk bekerja secara hybrid/blended, yakni online dan offline.

Apa pesan yang selalu Anda tekankan kepada tim? Mengapa?

Selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik, bekerja sama dengan harmonis, ikhlas dan bersukacita dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari. Sebab, jika kita tidak menikmati profesi, maka bekerja hanya akan dirasakan seperti kewajiban mencari rezeki, tanpa penghayatan, kepuasan hati, dan rasa kepemilikan.

Bagaimana akhirnya Anda bergabung dengan APPRI hingga didapuk sebagai Wakil Ketua?

Perjalanan karier dan pengalaman sebagai konsultan kurang lebih sepanjang 15 tahun mengantarkan saya untuk menyelami industri ini lebih dalam, mengenal praktisi-praktisi hebat lainnya dengan lebih baik, dan memperluas jejaring. Pada tahun 2019, saya diminta untuk membantu Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Tahun 2020, setelah masa kepengurusan sebelumnya berakhir, saya dipercaya untuk mengemban amanah sebagai Wakil Ketua Umum APPRI untuk masa jabatan 2020 – 2023.

Tahun lalu Anda terpilih menjadi Wakil Ketua Umum APPRI. Apa yang menjadi concern Anda terhadap anggota organisasi dan juga industri agensi PR di tanah air?

Studi yang dilakukan oleh APPRI baru-baru ini menunjukkan bahwa umumnya agensi PR masih lebih banyak berfokus pada komunikasi pemasaran brand konsumen dan menjalankan praktik hubungan media secara konvensional. Sementara area seperti komunikasi politik atau komunikasi pembangunan, belum banyak digeluti. Praktik khusus seperti manajemen krisis, komunikasi perubahan perilaku, atau seni komunikasi internal organisasi belum banyak dilirik, padahal kebutuhannya sangat besar.

Temuan lain dari survei tersebut mengungkapkan bahwa layanan utama agensi PR di Indonesia juga masih banyak berkisar di seputar media relations dengan cara umum yang konvensional. Padahal, saat ini, praktik PR sudah menjadi lebih luas dengan media yang semakin konvergen akibat perkembangan digital platform. Belum banyak yang didukung teknologi pengolahan data, teknologi pemroses dan penghasil informasi, atau teknologi monitoring performa kerja yang andal, agar bisa mengemas keseluruhan program kampanye lebih strategis dan tepat sasaran.

Oleh karenanya, sebagai bagian dari pengurus organisasi, sepanjang tiga tahun ke depan, saya berkomitmen untuk membantu membangun peran APPRI lebih strategis sebagai katalis bagi pemberdayaan para anggota, menjadi sumber informasi dan data, menjadi sumber ilmu dan pembelajaran serta keterampilan, menjadi think tank dalam konteks komunikasi bagi berbagai masalah, menjadi wadah solidaritas bersama untuk mengembangkan jejaring dan usaha, serta menegakkan praktik baik.

Apa harapan dan mimpi Anda terhadap agensi PR lokal di tanah air di masa depan?

Tumbuh semakin profesional dan setara dengan standar internasional, didukung teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung kerja dan pengukuran hasil. Terbiasa bekerja berbasis hasil analisis data, mengembangkan usaha serta mentransformasi pengetahuan dan keterampilan ke luar ibu kota dan Pulau Jawa sehingga layanan dan kapabilitas PR di seluruh nusantara lebih merata. Para konsultannya berbekal sertifikasi resmi sehingga kompetensi dan keahliannya diakui dan dapat dipertanggungjawabkan. Agensi PR lokal harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak kalah bersaing dengan layanan konsultan yang berpusat di luar negeri. Atau, bukan tidak mungkin, agensi PR asli asal Indonesia menjadi firma global suatu hari nanti, memiliki banyak kantor cabang dan terlibat dalam berbagai inisiatif di seluruh dunia.

Dunia PR yang cenderung dinamis membuat kebutuhan antara industri dengan kemampuan para lulusan PR kerap tak sejalan. Menurut Anda, bagaimana cara atau solusi untuk meminimalisasi gap ini?

Banyak studi di bidang pendidikan tinggi membuktikan bahwa kesenjangan antara pengetahuan dan keterampilan lulusan universitas atau lembaga pendidikan, dengan apa yang diharapkan oleh industri dan dunia kerja, ditemukan hampir semua sektor. Tidak terkecuali di bidang komunikasi dan kehumasan.

Pendapat saya mungkin terdengar klasik, tetapi hingga saat ini masih berlaku dan belum juga terwujud secara optimal. Yakni, konsep triple helix atau kerjasama mutual antara industri dan dunia usaha, dunia pendidikan, dan negara (pemerintah) mutlak diperlukan.

Dunia pendidikan perlu mendapatkan sinyal yang kuat tentang apa yang dicari oleh industri, teknologi apa yang sekarang berkembang dan digunakan dalam pekerjaan, berapa banyak tenaga kerja PR yang dibutuhkan, keahlian khusus apa saja yang sedang atau makin dinikmati, sebaran sektor apa saja yang sangat membutuhkan, dan seterusnya. Dengan demikian, dunia pendidikan dapat menyesuaikan kurikulum, rencana pembelajaran kelas, sumber referensi, materi dan cara ajarnya, dan seterusnya.

Sebaliknya, industri dan dunia usaha harus peduli dengan pengembangan SDM muda sejak mereka di bangku sekolah. Pekerja profesional hendaknya mau turun tangan memberi masukan bagi dunia pendidikan, atau bahkan aktif ambil bagian sebagai pengajar. Calon profesional PR perlu banyak belajar studi kasus dari pengalaman nyata. Mereka juga perlu uji coba secara langsung melalui kesempatan magang atau menangani sebuah proyek dan merasakan potensi teknologi yang mungkin tidak ditemuinya di kelas. Pelaku industri dan dunia usaha merupakan pihak yang bisa memberikan eskposur-eksposur tersebut. Tidak hanya keterampilan teknis, bekerja dalam lingkungan bisnis yang sebenarnya akan mengasah kemampuan kolaborasi, multitasking, mengelola tekanan, serta membangkitkan mental kewirausahaan yang mandiri.

Peran negara juga sangat penting, sebagai pembuat kebijakan dan katalis yang memungkinkan hal-hal di atas terjadi. Sebagai pengguna jasa PR, lembaga-lembaga negara juga memerlukan tenaga profesional yang mumpuni.

Apa solusi dan kontribusi yang dilakukan APPRI?

Di APPRI, kami menjalankan program APPRIentice yang memungkinkan mahasiswa-mahasiswi dari seluruh nusantara untuk menikmati pelatihan praktis secara berseri dari perusahaanperusahaan anggota APPRI. Upaya ini diikuti dengan memberikan penugasan kepada mereka untuk magang di kantor perusahaan-perusahaan anggota kami, serta membantu Asosiasi. Di sinilah mereka mendapatkan bimbingan lekat dari para konsultan profesional, bergelut dengan berbagai topik proyek, menghadapi klien, melakukan pekerjaan dari hulu ke hilir, dan lain sebagainya.

Kami juga sedang dalam tahap pembicaraan dengan salah satu universitas negeri terkemuka di Indonesia untuk merancang program, membangun substansi dan mengasuh PR Lab mereka. Nantinya, mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Kehumasan dapat melakukan praktik dan percobaan PR di sana.

Program APPRIentice dan pengasuhan PR Lab merupakan kontribusi kecil kami dalam upaya untuk mengurangi kesenjangan antara kualitas lulusan dengan kompetensi yang diharapkan di pasar kerja.

Menurut Anda, kontribusi dan dukungan seperti apa yang dibutuhkan untuk perkembangan agensi PR di tanah air?

Kepemilikan teknologi kerja yang lebih merata dan kekinian, kemampuan untuk mengelola data, melakukan analisis dan mengambil kesimpulan, sebagai referensi untuk menyusun strategi dan mengambil langkah aksi, serta membidik tujuan secara jauh lebih tepat.

Warisan apa yang ingin Anda berikan kepada industri ini?

Praktik yang lebih inovatif, alat ukur keberhasilan kerja yang terpercaya, penguasaan konsultan/praktisi PR Indonesia terhadap topik-topik atau sektor-sektor yang jarang tersentuh.

Sejak kapan menemukan passion di bidang komunikasi/PR? Apa yang melatarbelakangi?

Sebetulnya, menekuni bidang komunikasi dan PR bukanlah cita-cita semula. Saya bahkan menghabiskan masa SMA saya untuk bersiap mendaftar di bidang ilmu kedokteran. Mungkin alam bawah sadar mendorong saya untuk meneruskan profesi almarhum ayah saya.

Namun, seorang psikolog yang memberi konsultasi di tahun akhir masa SMA mengungkapkan bahwa saya sejatinya memiliki bakat dan potensi lain di bidang sosial. Beliau menyarankan saya untuk mencoba mengeksplorasi bidang atau peminatan lain. Akhirnya, saya menjatuhkan pilihan untuk meneruskan pendidikan tinggi di jalur yang sama sekali berbeda.

Saya menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo, dan sekian tahun kemudian meneruskan pendidikan pascasarjana dengan fokus Manajemen Komunikasi Korporasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Seterusnya hingga sekarang, saya konsisten berkarier di bidang ini.

Siapa tokoh yang Anda kagumi dan menginspirasi? Mengapa?

Lagi-lagi jawaban ini akan terdengar klise. Tapi, saya nge-fans dengan ayah sendiri. Bagi saya, ayah saya hadir dengan paket lengkap. Dia baik dan santun, sabar, pintar, pekerja keras, disiplin dan berkomitmen tinggi, jujur, bijaksana, sangat perhatian kepada keluarga, menyenangkan, dan disukai banyak orang. Banyak etos baik beliau yang saya teladani dan menjadi bekal kami sekeluarga hingga kini. Sosok yang lekat dalam hidup sehari-hari bagi saya lebih riil, terjangkau, lebih mudah untuk dikagumi dan menginspirasi.

Praktisi humas harus siaga 24 jam. Seperti apa dukungan keluarga terhadap karier Anda?

Saya memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan. Dukungan suami dan anak-anak terhadap pekerjaan dan semua kesibukan saya luar biasa besar. Tanpa blessings mereka, saya tidak mungkin meniti karier profesional hingga titik ini. Anak saya yang tertua sudah remaja dan kami sering bertukar pendapat, mengikuti suatu isu bersama-sama, kadang berdebat seru. Hal-hal seperti ini sangat menyegarkan dan mengimbangi dinamika saya di pekerjaan.

Selebihnya, rumah tangga saya berjalan normal sebagaimana keluarga pada umumnya. Kecuali, mungkin jam kerja saya yang cenderung lebih panjang dari orang lain. Dan, kebiasaan saya untuk multitasking dalam kesempatan apa pun. Justru, saya kerap merasa tidak sehat, kalau pasif berdiam diri.

Bagaimana Anda membagi waktu antara pribadi, keluarga dengan pekerjaan?

Sama seperti peran para ibu pada umumnya, urusan pendidikan anak juga dominan berada di bawah pengawasan saya. Terlebih di masa pandemi di mana kita semua berada di rumah, saya turut mengawasi kegiatan belajar anak-anak secara langsung, membantu mereka mengerjakan tugas jika diperlukan, dan sebagainya. Tidak jarang semuanya dilakukan sambil berkorespondensi urusan pekerjaan.

Saya menikmati ngobrol dengan suami, membaca buku, atau sekadar mendengarkan musik. Biasanya, larut malam sebelum tidur. Sabtu-Minggu, jika tidak ada kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, saya memilih berkumpul dengan keluarga dengan makan siang bersama di luar rumah. Setidaknya, beban kesibukan pekerjaan bisa dilepaskan sejenak.

Apa hobi Anda?

Sejak kecil hingga dewasa, saya suka sekali berenang dan membaca. Alasannya sederhana, ada perasaan rileks dan kenikmatan tersendiri ketika melakukan keduanya. Selain baik untuk fisik, baik juga untuk otak. Hanya, karena kesibukan saat ini, saya tidak lagi intens berenang

Apa yang biasanya Anda lakukan saat me time?

Saya beryoga dan membaca buku. Saya berlatih yoga secara rutin sejak kurang lebih lima tahun lalu dan selalu merasa lebih sehat setelah exercise. Selain itu, biasanya saya membaca buku apa saja yang sedang menarik minat saya. Termasuk dan terutama, buku yang terkait pekerjaan, atau sekedar mengambil inspirasi dari biografi tokoh-tokoh penting. Namun, karena menjadi selingan di tengah kesibukan, satu buku hanya bisa diselesaikan agak lama. Apalagi untuk buku yang tergolong sangat tebal.

Apa prinsip hidup Anda?

Saya sangat terkesan dengan word of wisdom, “Don’t call it a dream, call it a plan”. Ini sepertinya merepresentasikan perilaku saya. Saya tidak suka berlama-lama berkhayal atau cuma berwacana. Biasanya disusul dengan rencana konkret untuk dapat mewujudkannya. Ada gairah dalam proses mengusahakannya, meski harus menghadapi banyak tantangan. Soal berhasil atau tidak, itu nomor dua, yang penting cita-cita itu tidak cuma dilewatkan sebagai mimpi dan meninggalkan rasa penasaran yang percuma.

Apa mimpi yang masih ingin Anda capai?

Melihat perkembangan bisnis dan industri kehumasan yang semakin luas. Saya dan mitra usaha di ID COMM memandang agensi kehumasan bisa bergerak lebih jauh di masa depan agar bisa memberikan layanan dari hulu ke hilir. Misalnya, melalui praktik komunikasi asertif, dukungan riset komunikasi dan sosial yang lebih kuat, dan pengembangan kapasitas SDM dengan skills set yang relevan di era bisnis mendatang. Ini adalah sebagian dari cita-cita ID COMM agar bisa tetap kompetitif dan berkontribusi terhadap industri kehumasan Indonesia.

Penulis: Sari Soegondo, Sari Soegondo, Praktisi Kehumasan, Co-Founder & Executive Director ID COMM.
Sumber: PR Indonesia, “Komunikasi Strategis Vaksinasi COVID-19”, Edisi 70 |Th VI | January 2021