Akhir tahun lalu, saya membaca berita bahwa Presiden Joko Widodo meresmikan pembukaan program percepatan sertifikasi tenaga kerja konstruksi secara serempak di Indonesia. Ini artinya pekerja pembangun fasilitas umum – mulai dari mereka yang biasa kita temui di tepi jalan, bertopi kuning, bersepatu boots, menggunakan jaket dan perangkat pengaman – secara resmi diakui tingkatan kompetensinya yang kemudian diatur melalui program pemberian sertifikat. Menurut saya, ini adalah sebuah langkah yang cerdas dan sangat strategis untuk mendorong pembangunan mega infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah saat ini, dan turut menstimuli proyek-proyek padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.

Sayangnya, di sektor pekerjaan yang sehari-hari saya geluti situasinya sangat berbeda. Seorang rekan pemilik perusahaan manajemen acara (event organizer company), geleng-geleng kepala karena salah merekrut seorang manajer produksi acara yang mengaku berpengalaman, menetapkan nilai jasa tinggi, namun bahkan tidak familiar dengan jenis-jenis lampu panggung.

Seorang klien mengeluh, bahwa untuk sebuah brief project yang sama, talents yang datang dapat menawarkan harga jasa yang sangat jauh berbeda meski dengan target pencapaian kerja standar. Baginya, bekerja dengan seorang pekerja kreatif bagaikan membeli probabilita yang tidak terjamin kualitas keluarannya. Masih menurutnya, area ini terus abu-abu dan barangkali tidak akan pernah dapat diperlakukan seperti sektor-sektor yang diatur oleh ISO (International Organization for Standardization).

Saya mendengar kasus lain, kali ini dari Australia; beberapa saat lalu aktor Hollywood Chris Hemsworth bermaksud untuk shooting salah satu adegannya di Indonesia. Tim film tersebut kemudian mengirimkan raiders agar tim Indonesia dapat memenuhi kebutuhan syuting termasuk menyiapkan juru kamera dengan kualifikasi sebagaimana yang dibutuhkan. Alih-alih merespon dengan baik, tim Indonesia kesulitan memahami kualifikasi yang diminta dan kewalahan mencari juru kamera yang sesuai, mengingat orang tersebut harus berpengalaman bekerja dengan jenis kamera tertentu dan memiliki pengalaman kerja dengan ketentuan minimum. Belum lagi kemampuan untuk bekerja secara kolaboratif dalam sebuah tim internasional. Setelah beberapa saat, akhirnya tim Indonesia berhasil menemukan profil yang dicari; yaitu seorang profesional dari dunia periklanan – yang bahkan sama sekali tidak berpengalaman di industri perfilman. Kru-kru film lainnya kemudian dihimpun dari negara tetangga seperti Singapura, Thailand dan Filipina.

Potensi Versus Eksplorasi

Dua contoh di atas hanya sekelumit ilustrasi betapa dinamis – namun carut marutnya – sistem kualifikasi atau standarisasi kompetensi pekerja kreatif di Indonesia (baik yang menghasilkan produk barang maupun jasa), yang dapat merugikan baik penyewa jasa maupun pemberi jasa itu sendiri – bahkan melemahkan daya saing global.

Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2015 mencatat jumlah tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif sebesar 15,96 juta orang dari total jumlah pekerja di Indonesia yang mencapai 114,82 juta jiwa. Jumlah pekerja kreatif tersebut bahkan terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,38% per-tahun.

Meski sektor kreatif masih didominasi oleh sub-sektor kuliner, busana dan kriya (93,4% dari total kegiatan ekonomi kreatif) dan didominasi 54% oleh pekerja perempuan, namun generasi millennials mulai menyeruak di banyak area kreatif dan di bidang-bidang yang belum banyak tereksplorasi sebelumnya. Di antaranya adalah dunia periklanan, penerbitan dan percetakan, TV dan radio, film, video dan fotografi, musik, seni pertunjukan, arsitektur, desain, permainan interaktif dan layanan komputer – seperti yang disebutkan dalam cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2009-2025. Dunia pendidikan pun menjawab tren ini dengan menawarkan lebih banyak pilihan bagi mahasiswa untuk belajar bidang sosial dan seni kreatif, sehingga Indonesia dapat berharap banyak dari bonus demografi di bidang kreatif ini.

Dengan demikian, para pekerja kreatif Indonesia jelas berpotensi besar untuk bersaing dengan talents dari negara-negara lainnya. Namun perlu dilakukan perbaikan tata kelola industri dan pengembangan sumber daya manusia secara strategis, untuk dapat berkembang dan diakui dalam kompetisi internasional.

Membenahi Hulu, Memperkuat Kerangka Kualifikasi SDM Nasional

Salah satu langkah awal yang dapat dimulai adalah pembenahan data. Hal ini mencakup pemetaan serta pendefinisian profesi dan klasifikasi jenis pekerjaan, pengaturan kualifikasi pekerja, pengembangan jenjang karir dan sistem sertifikasi yang mengiringi pengalaman kerja mereka. Hal tersebut penting dilakukan untuk mengoreksi simplifikasi atas pekerjaan atau jenis profesi di dunia kreatif yang semakin berkembang sesuai tuntutan pasar, melampaui disiplin ilmu dasar dan regulasi yang memayunginya.

Tantangan besar kita adalah bagaimana pekerja kreatif seperti editor khusus film animasi, pengarah tata cahaya (lighting engineer), pembuat aplikasi permainan online, desainer dan pemrogram untuk seni video mapping, pembuat ilustrasi untuk story board (simulasi kisah), fotografer alam, dan masih banyak lagi profesi unik lainnya, masuk ke dalam sebuah kerangka penjenjangan kualifikasi untuk dapat disandingkan, disetarakan dan diintegrasikan antara latar belakang pendidikan, pengalaman kerja dan keterampilan yang dimiliki, demi pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaannya di sektor masing-masing.

Profesi yang lebih jamak dikenal seperti desainer busana, penata rambut, perias wajah dan sebagainya mungkin sedikit lebih beruntung karena pengembangan pelatihan dan proses sertifikasi mereka dibantu oleh asosiasi profesi yang telah mapan. Namun bagi jenis pekerjaan yang belum memiliki wadah solidaritas profesi, bersifat sangat transformatif seiring perkembangan teknologi, berjejaring secara maya, atau ilmunya dipelajari secara turun temurun dalam konteks sosial-budaya misalnya, mungkin kehilangan kesempatan untuk menaiki tangga karir, memposisikan dirinya di tengah jenjang profesi, dan kesulitan meningkatkan nilai jasa dari keahliannya, lantaran tidak ada kerangka kualifikasi yang mengatur kompetensi dan kuantifikasi imbalan yang berhak mereka terima.

Oleh sebab itu, hukum alam-lah yang umum berlaku di dunia kreatif hari ini. Mereka yang sudah senior dan sangat mumpuni, kerap kalah bersaing dengan mereka yang semata-mata berani memasang tarif murah. Kedua belah pihak tidak dilandasi argumentasi konkret yang didukung sertifikasi sebagai bentuk pengakuan umum atas kompetensi mereka, sehingga efisiensi menjadi satu-satunya pertimbangan terlepas kualitas yang dihasilkan. Mereka yang sudah tergolong spesialis pun tidak jarang ‘membanting harga’ manakala didesak kebutuhan, atau memiliki daya tawar yang terlalu lemah, sehingga standar harga pasar atas seorang profesional di peringkat tertentu pun makin sulit dipegang.

 

Membangun Data Awal Melalui Crowd-Sourcing Platform

Situs pencari kerja bagi posisi-posisi formal di dunia bisnis saat ini sangat mudah ditemukan. Tetapi mari berangan-angan bahwa Indonesia memiliki sebuah dashboard yang memuat data lengkap jenis-jenis pekerjaan khusus di bidang kreatif, lengkap dengan profil dan status para pekerjanya. Bukan sekedar sebagai database yang memudahkan pencarian talent yang dibutuhkan, sistem ini dilengkapi algoritma tertentu untuk menghasilkan standar imbalan rata-rata setelah memperhitungkan variabel latar belakang pendidikan, bekal keterampilan sesuai pendidikan, konsistensi pekerjaan, periode pekerjaan, pelatihan-pelatihan yang diterima sepanjang karir, penguasaan teknologi atau alat kerja, daftar dan bukti project yang dikerjakan, studi kasus, review atau testimoni dari pengguna jasa, hingga rekam jejak sang talent di media sosial. Seluruhnya berperan dalam memposisikannya secara profesional di kuadran kompetensi tertentu dan menjadi semakin akurat seiring makin banyaknya data publik yang teragregat.

Sistem seperti ini tentu dapat membantu Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), misalnya, untuk mengolah potensi yang terefleksi dari datanya. Pihak terkait dapat membaca tren bidang kreatif apa yang paling berkembang dan didukung jumlah talents terbanyak saat ini, mengetahui ahli-ahli terbaik di bidangnya, melihat skala atau teknik pekerjaan yang mampu dilakukan oleh seorang talent lokal, apa celah pemasaran dan kesempatan untuk mengonversi nilainya, apa saja opsi pengembangan jejaringnya, kisaran harga produk dan jasa, hingga sumberdaya apa yang kiranya perlu disiapkan para pihak untuk mendukung pertumbuhan sebuah sektor hingga ke tataran global. Pendekatan semacam ini diharapkan juga dapat mengimbangi kerja Bekraf, yang saat ini lebih banyak fokus pada bagian hilir untuk membenahi sistem perlindungan hak cipta atas sebuah karya, tetapi kurang turut serta dalam proses standarisasi kompetensi pelaku kreatifnya yang sebenarnya juga mempengaruhi pemberdayaan ekonominya.

Tidak berhenti sampai di situ, platform semacam ini juga sekaligus dapat menjadi sebuah market place yang mempertemukan penjual dan pembeli jasa, mempertemukan seorang kreator idealis dengan pebisnis dengan kemampuan dagang yang baik, mempertemukan pelaku junior dengan profesional senior yang legendaris di bidangnya – sehingga terjadi transaksi ekonomi, pengetahuan, keterampilan, informasi, teknologi dan perluasan jejaring sekaligus di dalamnya.

Saya bahkan membayangkan pengguna jasa dapat melakukan lelang terbuka dengan kualifikasi peserta, syarat dan ketentuan serta pagu anggaran yang transparan, dimana pihak yang tidak memenangkan lelang tetap berhak atas imbalan dari modal intelejensia, kreativitas, alat kerja, waktu dan tenaga yang telah dikeluarkannya untuk mendukung inisiatif pengguna jasa. Skema semacam ini, di lain pihak, dapat melindungi sang kreator atau pemberi jasa dari kerugian moneter dan pengakuan atas gagasan kreatif yang disampaikannya.

Sebaliknya, pemberi jasa kreatif mungkin saja dapat mengumumkan lelang ide secara terbuka, untuk dapat menarik investor atau pengguna jasa yang tertarik membeli konsep atau produk kreatifnya. Penyedia layanan keuangan bahkan dapat diikutsertakan dalam ekosistem ini untuk membuka akses mereka pada pemodalan dan kesempatan untuk mewujudkan gagasan.

Atau, sesama pekerja kreatif dapat menemukan mitra kerja di ‘kolam’ ini dan ber-kokreasi menghasilkan produk, konsep atau program kreatif yang memiliki nilai tambah lebih baik. Jejaring ini juga dapat menjadi saluran bagi dunia pendidikan untuk mendorong mahasiswanya melakukan praktik kerja dengan para pihak, tentunya dengan bantuan teknologi. Dan bukan tidak mungkin, platform ini dapat menjadi sarana untuk membentuk dream team yang bernilai jual sangat tinggi, terdiri dari orang-orang terbaik di bidangnya untuk bekerja di sebuah inisiatif besar yang telah lama ditunggu-tunggu oleh publik.

Platform semacam ini – jika berhasil diwujudkan – diharapkan dapat menjadi enabler atau katalis bagi komunitas kreatif yang lebih ragam, lebih berdaya, lebih mantap dan diakui kompetensinya secara resmi, serta memberi dampak strategis terhadap industri serta kehidupan ekonomi. Terutama jika mengingat target Bekraf untuk mencapai pertumbuhan ekonomi kreatif sebesar 6,75%, dengan serapan tenaga kerja sebesar 17 juta orang, serta nilai ekspor produk kreatif yang diharapkan mencapai angka US$21,5 miliar pada 2019. Tenggat waktu yang tidak lama lagi.

Penulis: Sari Soegondo, Praktisi Kehumasan, Co-Founder & Executive Director ID COMM.