Inklusivitas kini menjadi faktor yang tidak dapat ditawar dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kegiatan komunikasi publik. Saat ini, banyak kampanye publik yang sudah menerapkan suatu pendekatan inklusif dengan mengadopsi konsep GEDSI. Banyak lembaga internasional dan nasional telah memasukkan kerangka kerja GEDSI dalam setiap aktivitas komunikasi publiknya. Tujuannya untuk mengikutsertakan kelompok-kelompok rentan ke dalam kegiatan komunikasi yang mendukung agenda kerja pembangunan dengan melibatkan perempuan, disabilitas, bahkan kelompok ekonomi rendah, dan masyarakat adat.
Sebagai kerangka kerja, GEDSI memiliki peran penting untuk membangun fokus pada aspek gender, disabilitas, dan inklusi sosial, dengan mengedepankan kesetaraan, tidak mengecualikan kelompok tertentu, dan memberikan akses yang sama bagi kelompok rentan atau marjinal.
Kerangka kerja tersebut telah digunakan dalam berbagai kampanye, salah satunya untuk mewujudkan ketahanan kesehatan. Ketika COVID-19 terdeteksi di Indonesia, Kemitraan Australia-Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AISHP) menginisiasi sebuah kampanye komunikasi risiko dan vaksinasi inklusif melalui Vaccine Access and Health Security Initiative (VAHSI) yang menyasar lansia dan penyandang disabilitas.
Sebagai target dari kampanye ini, perempuan adalah kelompok yang berpotensi memiliki kerentanan ganda. Mereka adalah kelompok perempuan lansia dan perempuan disabilitas. Berdasarkan hasil identifikasi target audiens pada kampanye oleh AIHSP-VAHSI, berikut ini, kondisi target sasaran:
Penyandang disabilitas perempuan lebih rentan mendapatkan misinformasi terkait COVID-19.
Tokoh masyarakat atau pemuka agama masih menjadi acuan/sumber informasi yang mempengaruhi sikap lansia, terutama lansia perempuan terkait vaksinasi COVID-19.
Lansia laki-laki lebih ragu-ragu dalam menerima vaksinasi COVID-19 dibandingkan lansia perempuan.
Bagaimana komunikasi inklusif menjawab kerentanan ini?
Melihat perempuan menjadi target sasaran yang mengalami kerentanan ganda, maka strategi komunikasi inklusif menjadi pendekatan yang tepat untuk diimplementasikan dalam kampanye komunikasi risiko pada Vaccine Access and Health Security Initiative (VAHSI). Salah satunya adalah dengan mendorong peran kelompok perempuan dalam mengedukasi sesamanya. Pada kenyataannya, kelompok perempuan pada umumnya, baik dalam kapasitas sebagai ibu, istri, anak, maupun sebagai anggota organisasi tertentu lebih aktif melakukan edukasi kepada keluarga, teman, dan sesamanya terkait dengan COVID-19. Bagaimana para perempuan ini mendapatkan informasi yang valid? Kelompok-kelompok perempuan secara aktif menyaring informasi yang beredar di berbagai saluran komunikasi, baik digital dan konvensional, untuk kemudian menerapkan dan menyampaikannya kembali kepada kelompok terdekat mereka.
Dalam kampanye ini, metode komunikasi serta proses layanan yang dirancang khusus sesuai dengan pendekatan GEDSI berhasil mengakomodasi kebutuhan dari anak-anak, perempuan, ibu hamil, lansia, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Upaya ini membuahkan hasil dalam pilot project vaksinasi di Sulawesi Selatan, Gebyar Pekan Vaksinasi Inklusif tahun 2022 yang diadakan di lima kabupaten yaitu Kabupaten Bone, Gowa, Maros, Pinrang, dan Enrekang. Kegiatan tersebut berhasil memvaksinasi sebanyak 760 orang, termasuk 371 perempuan, 186 penyandang disabilitas, dan 32 lansia.
Upaya lainnya yang dilakukan untuk menjangkau kalangan perempuan adalah memaksimalkan peran tokoh perempuan adat dalam mengajak masyarakat adat untuk mendapatkan layanan vaksinasi inklusif COVID-19. Praktik baik ini sudah dilakukan di Kampung Adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya, di mana Mince Durakaka, istri dari Ketua Lembaga Adat Ratenggaro aktif melakukan edukasi dan ikut menerima vaksin COVID-19 hingga dosis ketiga.
GEDSI dalam strategi komunikasi.
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan saat menggunakan pendekatan GEDSI dalam komunikasi inklusif. Pertama, mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan yang menjadi target sasaran kampanye. Contohnya: perempuan pemilik UMKM, disabilitas, masyarakat adat atau tinggal di lokasi terpencil, anak-anak, lansia, kelompok minoritas, dan lain sebagainya.
Kedua, pilah cara yang tepat untuk menyampaikan pesan kepada mereka. Untuk dapat mencapai target sasaran dengan usia muda, maka influencers dan media sosial menjadi saluran komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan. Sedangkan, pada orang dengan usia lanjut atau tinggal di daerah terpencil, dapat menggunakan media radio, surat kabar lokal, maupun tokoh adat/pemuka agama.
Ketiga, sensitif terhadap kebutuhan dari setiap kelompok sasaran. Misalnya, pelibatan juru bahasa isyarat (JBI), adanya subtitle, konten digital yang ramah disabilitas dari segi warna, format, dan keterbacaan yang dapat memudahkan kelompok disabilitas dalam memahami pesan.
Di masa depan, praktik-praktik baik di atas dapat diamplifikasi agar bisa menyasar lebih banyak lagi target sasaran. Utamanya, karena GEDSI selaras dengan agenda pembangunan global. Hal ini sesuai dengan prinsip “Tidak Ada Seorang Pun yang Tertinggal” atau “No One Left Behind” di dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Penulis: Angeline Hidayat
Editor: Dewi Bastina