Dalam sebuah negara demokrasi, suara rakyat sejatinya berada di tingkat tertinggi dan rakyat berhak mengawal proses lahirnya berbagai kebijakan pemerintah serta implementasi program-programnya. Idealnya, advokasi atas aspirasi masyarakat terhadap perumusan suatu kebijakan disampaikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai perwakilan dari berbagai kelompok konstituen, dari berbagai segmen dan lapisan masyarakat.

Satu tahun lebih pemerintahan Presiden Jokowi memimpin Indonesia untuk kedua kalinya. pandemi COVID-19, yang menjadi tantangan semua negara, menyebabkan perubahan prioritas program dan rencana kerja yang telah disusun oleh pemerintahan ini. Namun demikian, di tengah krisis kesehatan seperti ini, terdapat sejumlah kebijakan yang tetap disahkan meski sudah menimbulkan pro dan kontra sejak awal perumusannya. Terdapat tarik-menarik kepentingan yang sangat besar, yang diperburuk oleh kegagapan pembuat kebijakan dalam melakukan sosialisasi dan membangun pemahaman bersama masyarakat.

Saat Aspirasi Dinafikan

Salah satu contoh kebijakan kontroversial itu adalah UU Cipta Kerja yang dimaksudkan untuk menjawab permasalahan di dunia usaha, terutama terkait aturan yang tumpang tindih dalam hal perizinan. Harapannya, undang-undang ini dapat meningkatkan investasi yang berujung pada penyerapan tenaga kerja.

Sayangnya menurut banyak pihak, UU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya. Undang-undang ini dipandang melanggar prinsip-prinsip non-retrogesi (tidak membiarkan orang lebih maju atau kondisi menjadi lebih baik), sehingga membawa kemunduran dalam pemenuhan hak-hak masyarakat. Nuansanya juga mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. Proses pembahannya sejak awal mengabaikan ruang demokrasi dan dilakukan secara tergesa-gesa, sehingga kurang mengakomodir kepentingan penerima manfaat, dianggap tidak adil, dan bahkan sejumlah aspek dinilai tidak masuk akal. Banyak pihak, dengan demikian, menjadikan UU Cipta Kerja sebagai contoh praktik buruk yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Hasilnya adalah kegelisahan besar dan penolakan oleh masyarakat yang semestinya terlayani oleh undang-undang ini.

Saluran bagi masyarakat untuk mengekspresikan ketidaksetujuannya, bisa dikatakan ditutup secara sistemik saat itu. Partai oposisi di lingkungan parlemen bagaikan mati suri untuk bisa mendorong suara rakyat karena jumlahnya yang tidak seimbang dengan partai yang berpihak pada pemerintah, yaitu sebanyak 60 persen dan didukung oleh enam fraksi sehingga secara otomatis menjadi dominan.

Kebuntuan ini melahirkan konsekuensi logis dan menciptakan fenomena yang wajar, jamak ditemui dalam berbagai isu dan di berbagai belahan dunia. Kegelisahan masyarakat mewujud dalam bentuk demonstrasi di depan gedung DPR yang telah dimulai sejak UU Cipta Kerja masih menjadi bahan diskusi di parlemen. ‘Hanya’ karena pandemi memukul Indonesia, dan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kegiatan demonstrasi tersebut akhirnya berhenti.

Saluran Alternatif dan Konsekuensinya

Platform media sosial dan situs digital akhirnya menjadi pilihan alternatif untuk menyuarakan hati nurani rakyat. Bagaimana corak komunikasi politik lewat media sosial dan situs digital? Apakah Pemerintah peka dan terbuka terhadap kritik dan saran yang disampaikan oleh rakyatnya melalui saluran ini? Mari kita kaji bagaimana mekanisme kontrol penguasa terhadap suara rakyat.

Tidak dipungkiri tercatat sejumlah aksi peretasan akun media sosial maupun situs online yang dilakukan pada mereka yang dinilai kritis terhadap pemerintah. Tentu saja hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak rakyat akan kebebasan berpendapat. Salah satu akun media sosial yang diretas dan dimonitor secara lekat oleh pemerintah adalah akun media sosial milik pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), menyusul adanya kritik terbuka dari lembaga ini kepada Presiden Jokowi yang dijuluki sebagai “King of Lip Service” pada bulan Juni 2021 lalu.

Tak hanya itu, di konteks permasalahan lainnya, pada Agustus tahun 2020 dimana kasus pandemi mulai meninggi di tanah air, terjadi pula peretasan pada akun twitter pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono di @drpriono, karena sikapnya yang kritis terhadap penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah dan hal ini berlanjut pada peretasan akun Tempo.co yang memuat artikel kritis terhadap isu tersebut.

Tindakan represif pemerintah dalam upaya membungkam kritik masyarakat juga masuk di sektor seni budaya, yang bahkan tampak sangat kasat mata karena terjadi di luar jaringan online. Salah satunya adalah yang terjadi di Kota Yogyakarta, dimana terdapat tembok berlukiskan mural yang dibuat oleh seniman Yogyakata dengan nada satire, yang dihapus oleh satpol PP Kota Yogyakarta dalam waktu singkat.

Jika mekanisme umpan balik masyarakat dihentikan, berbagai kanal komunikasi untuk mengkritisasi kebijakan ditutup, dan suara rakyat dibungkam dengan berbagai tindakan represif, bukan tak mungkin hal ini akan menjadi bom waktu di masa depan dan terbentuklah masyarakat yang tidak percaya kepada pemimpinnya.

Kelompok Penekan sebagai Salah Satu Harapan

Salah satu motor penggerak kehidupan sosial-politik, dan kekuatan penyeimbang pihak penguasa, adalah organisasi masyarakat sipil yang juga merupakan perwakilan rakyat di luar struktur resmi trias politika. Kumpulan individu ini mewujud dalam banyak bentuk seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), asosiasi profesi, yayasan nirlaba, lembaga riset dan penelitian, lembaga pendampingan, dan lain-lain untuk membantu membawa suara dan pemikiran rakyat. Agen-agen pembaharu ini bergerak dan berjuang di berbagai isu, kerap dijumpai dalam topik-topik lingkungan hidup dan perubahan iklim, masyarakat adat, perempuan dan anak, buruh dan tenaga kerja, kesehatan, pendidikan, kelompok rentan, dan sebagainya – yang mana dianggap penting sebagai sendi kehidupan.

Interplay yang tak berkesudahan antara pemerintah dan rakyat dalam membangun berbagai konstruk sosial dan keberpihakan pada hak rakyat, sangatlah menarik untuk diamati dari kacamata komunikasi dan advokasi kebijakan. Masyarakat sipil mencoba bergerak untuk menyelesaikan isu publik dan menjaga langkah pemerintah yang kerap meluncurkan program yang tidak jarang justru bertentangan dengan aspirasi rakyat. Sebut saja program food estate atau pembukaan lahan luas untuk produksi padi yang mengancam lingkungan hidup, ekosistem dan lingkungan sosial. Peringatan terhadap keputusan pemerintah yang dianggap kurang cermat itu telah lama diteriakkan oleh LSM-LSM seperti Pantau Gambut, Yayasan ECONUSA, Yayasan Madani Berkelanjutan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan sebagainya – namun belum berhasil menggerakkan sikap pemerintah dan yang disadari masih merupakan perjuangan panjang untuk ditempuh.

Organisasi masyarakat sipil bekerja mulai dari bawah, misalnya menyelenggarakan penelitian dan pengumpulan data, melakukan intervensi langsung kepada kelompok-kelompok masyarakat, memberikan penguatan, pendampingan dan peningkatan kapasitas masyarakat agar mampu membela hak-nya, mengembangkan inovasi agar masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya dengan lebih baik, dan menawarkan opsi-opsi solusi atas permasalahan lain-lain yang dihadapi. Tentu saja ‘perjuangan’ tersebut juga hadir di ranah digital agar dapat menjangkau dan mempengaruhi lingkaran publik yang lebih luas, meski harus berhadapan dengan risiko peretasan oleh pihak-pihak operator negara.

Pentingnya Political Will dan Transparansi dalam Komunikasi Kebijakan

Pemerintah, melalui Presiden Jokowi, sering menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat bekerja sendiri dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan sehingga diperlukan kolaborasi dan keterlibatan masyarakat sipil. Namun wujud dari kolaborasi perlu dipertanyakan.

Pemerintah, mula-mula perlu memiliki political will atau kemauan politik dalam menyelesaikan berbagai isu publik. Komitmen ini tidak hanya harus ditunjukkan oleh sang Presiden tetapi juga perlu dipegang teguh oleh pejabat publik di tingkat terkecil.

Pola komunikasi publik tidak bisa berjalan satu arah dengan mengandalkan narasi-narasi yang normatif sembari membungkam anggota masyarakat yang dinilai kritis. Komunikasi publik yang demokratis perlu mencerminkan political will dan proses yang transparan, yang ditunjukkan dalam aksi nyata, serta kolaboratif dalam mengambil keputusan bagi nasib rakyat, salah satunya adalah dengan cara merespon dengan baik setiap isu terkait kebijakan yang disampaikan oleh rakyat.

Pemerintah semestinya menyediakan chamber atau ‘kamar curhat’ yang lebih luas untuk mengelola harapan rakyat. Jalur dan mekanisme yang ada dapat dioptimalkan dengan lebih baik, gestur kolaboratif pun perlu ditunjukkan secara lebih ramah. Karena hanya dengan demikian, pemerintah menjadi lebih peka terhadap kekurangan dan kesalahan yang bisa terjadi bilamana abai terhadap bisikan rakyat, dan rakyat pun lebih terlatih untuk turut bertanggungjawab atas apa yang disuarakan, serta lebih terlibat dalam derap pembangunan.

Pemerintahan yang demokratis dan transparan tercermin dari sejauh mana pemerintah bersifat terbuka terhadap masyarakat, menerima kritikan dengan lapang dada, serta inovatif menawarkan solusi. Karena jika semua saluran terbelenggu, dapat dipastikan gerakan sosial yang destruktif di tingkat tapak akan berakumulasi dan justru berisiko kontraproduktif terhadap agenda pembangunan itu sendiri.

Pembangunan nasional di berbagai sektor sesungguhnya bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih baik ketika pemerintah dan rakyat bekerja bahu membahu, menjawab persoalan dan memenuhi apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh rakyat.

Penulis: Riska Fiati, Senior Account Manager ID COMM.