Kesetaraan gender di Indonesia merupakan isu yang telah lama bergulir namun belum mendapatkan penanganan tepat dan optimal. Berdasarkan Indeks Ketidaksetaraan Gender, Indonesia termasuk yang tertinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar. Sedangkan pada peringkat kesenjangan gender global, Indonesia berada di peringkat 85 dari 149 negara [1]. Padahal gerakan untuk memperjuangkan isu ini telah dipelopori sejak 1908 oleh seorang perempuan muda penggerak emansipasi wanita, bernama Raden Ajeng Kartini, yang kemudian dinobatkan menjadi pahlawan nasional Indonesia [2].
Perjuangannya terus berlanjut di berbagai lini, mulai dari pendidikan, norma budaya, kebijakan, hingga kepemimpinan. Meskipun upaya baik dari pemerintah sudah berjalan, namun kesenjangan antara laki-laki dan perempuan masih terjadi. Hal ini mendorong munculnya berbagai gerakan masyarakat untuk percepatan kesetaraan gender. Advokasi terkait isu ini terus dilakukan melalui berbagai macam cara, utamanya dengan mengoptimalkan pemanfaatan berbagai media, di antaranya:
1. Advokasi terhadap pembuat kebijakan, berikut contohnya:
Salah satu permasalahan gender yang kerap muncul adalah perempuan sebagai kelompok yang rentan mendapatkan kekerasan. Sehingga payung hukum dan kebijakan yang dapat melindungi dan memenuhi hak perempuan untuk memeroleh rasa aman sangat dibutukan. Urgensi tersebut kerap disuarakan oleh berbagai pihak melalui berbagai media seperti gerakan unjuk rasa yang dilakukan oleh aktivis, dan upaya lobbying serta penyaluran opini-opini oleh para ahli dan masyarakat umum melalui media cetak dan media sosial. Upaya-upaya tersebut telah membuahkan hasil dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Dewan Perwakilan Rakyat, pada 12 April 2022 [3]. Indonesia memiliki Undang-undang, yaitu UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, yang mengatur keterwakilan perempuan dalam bidang politik minimal sebanyak 30%. Namun, hasil pemilihan umum 2019 mencatatkan hanya 20% perempuan yang berhasil mengisi kursi parlemen. Dalam hal ini, komitmen pemerintah untuk memberikan ruang bagi perempuan di ranah politik masih menjadi isu yang terus didorong oleh Komnas Perempuan dan organisasi masyarakat seperti Aisyiah melalui media massa dan upaya lobbying [4].
2. Advokasi terhadap masyarakat umum, berikut contohnya:
Norma budaya di Indonesia masih lekat dengan norma tradisi yang merujuk pada sistem patriarki dengan relasi kuasa yang menempatkan peran laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Kamla Bhasin, seorang aktivis feminis asal India dalam bukunya, “What is Patriarchy?” (1993) mendefinisikan patriarki sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh bapak atau laki-laki (patriarch) atau sistem yang dikuasai oleh laki-laki (Bhasin, Kamla (1993) What is Patriarchy?) . Gerakan feminisme tumbuh di Indonesia untuk memperjuangkan isu kesetaraan gender dengan tidak mengedepankan sistem patriarki yang sudah lama ada di Indonesia.
Pentingnya pemberdayaan perempuan digaungkan oleh berbagai organisasi masyarakat bahkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, baik itu melalui metode kampanye di media sosial, opini di media massa, hingga advokasi/lobbying.
Dalam melakukan penetrasi isu kepada masyarakat umum, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi di antaranya:
1. Perempuan dianggap sebagai pihak kedua (subordinat) atau demotifikasi perempuan.
2. Adanya gender stereotype atau stigma negatif pada perempuan akibat sistem patriarki
3. Objektifikasi pada perempuan?
4. Beban ganda yang diterima oleh perempuan
5. Perempuan sebagai kaum marjinal
Karenanya, tahapan edukasi merupakan tahapan utama yang harus dilakukan untuk memberikan informasi kepada publik mengenai pentingnya pemberdayaan perempuan. Penyebarluasan informasi dapat dilakukan melalui media yang dapat diakses oleh publik agar tercipta kesadaran (awareness), yang diikuti dengan penerimaan (acceptance) dan kemudian diterapkan menjadi tindakan (action).
Lalu, bagaimana agar isu tersebut bisa disampaikan ke masyarakat? Media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, maupun YouTube, memiliki peranan yang sangat besar dalam menyebarkan isu ini.
DataReportal merilis sebuah riset pada Februari 2022 yang menunjukkan ada peningkatan pengguna media sosial sebanyak 21 juta pengguna atau 12,6% sejak tahun 2021 menjadi 191,4 juta pada Januari 2022 atau setara dengan 68,9 persen dari 277,7 juta penduduk sebagai total populasi di Indonesia per Januari 2022. Data tersebut juga memberikan informasi mengenai banyaknya pengguna per media:
YouTube sebanyak 139 juta orang, Facebook sebanyak 129,9 juta orang, Instagram sebanyak 99,15 juta orang, Twitter sebanyak 45 juta orang, Dan lainnya [5]. Kesetaraan gender hanya bisa dicapai jika ada gerakan bersama dalam jumlah besar. Jika dimanfaatkan dengan baik, media sosial dapat menjadi media yang tepat, selama informasi yang disebarkan adalah informasi yang mendidik dan tidak sarat muatan patriarki.
Strategi apa yang bisa digunakan?
– Konten harian berisi informasi tentang kesetaraan gender yang rutin diunggah di laman media sosial.
– Penggunaan influencer atau seseorang yang dianggap memiliki ‘pengaruh’ kepada pengikutnya.
– Mengadakan gerakan masif di media sosial menggunakan tagar #hashtag.
– Pembelajaran atau diskusi daring mengenai isu kesetaraan gender melalui webinar atau live streaming.
Berhasil atau tidakkah metode tersebut di atas? Jawaban atas pertanyaan sebelumnya tentu tergantung dengan target yang disasar. Pendekatan terhadap pembuat kebijakan dan masyarakat umum tentu tidak bisa disamakan. Perlu ada penyesuaian agar informasi yang diberikan bisa dicerna dengan baik oleh penerimanya. Ada kesenjangan atau gap antara penerima pesan. Masyarakat yang telah terbiasa dengan budaya patriarki atau belum terpapar dengan isu kesetaraan gender memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk menolak informasi tersebut.
Gaya bicara seperti apa yang sesuai? Intonasi yang ramah, bersifat memberi tahu, tidak kasar dan tidak memaksa masih menjadi gaya bicara yang paling umum digunakan untuk meminimalisir konflik di media sosial. Selain itu, pembelajaran juga bisa dikemas dalam bentuk cerita kehidupan sehari-hari. Tipe konten seperti ini, biasanya lebih mudah diterima karena memiliki kedekatan dengan pengalaman penikmat konten.
Penulis: Angeline Hidayat, Associate ID COMM.
[1] www.thejakartapost.com/opinion/2022/03/08/without-data-indonesias-gender-equality-promise-falters.html
[2] www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13859/Kartini-dan-Kesetaraan-Gender-No-One-Left-Behind.html#:~:text=Keadilan%20dan%20kesetaraan%20gender%20di,kaum%20perempuan%20pada%20masa%20itu.
[3] www.kompas.id/baca/dikbud/2022/04/12/uu-tpks-disahkan-perjuangan-untuk-korban-masih-panjang
[4] www.voaindonesia.com/a/kuota-30-persen-kursi-perempuan-di-parlemen-sulit-dipenuhi/6710321.html
[5] datareportal.com/reports/digital-2022-indonesia