Pandemi COVID-19 yang sudah berjalan hampir setahun ini telah mengubah cara praktisi public relations (PR) bekerja. Termasuk, ekspektasi dan tuntutan terhadap profesi ini secara drastis.
Tanpa terasa, kita sudah memasuki pengujung tahun 2020. Tahun ini menorehkan catatan bersejarah tersendiri karena setelah satu abad, dunia kembali berhadapan dengan pandemi yang dahsyat dan menelan banyak korban jiwa, bernama COVID-19.
Di sisi lain, pandemi menjadi titik balik perubahan. Mulai dari cara manusia bekerja, hingga yang paling kentara, akselerasi teknologi. Pandemi juga membawa perubahan dan tren baru bagi dunia PR. Prediksi dan berbagai survei tentang PR yang sudah dilakukan sebelum pandemi, misalnya, berubah hanya dalam kurun waktu setahun ini.
Seperti temuan ICCO World PR Report 2020-2021. Hasil survei yang dilakukan kepada 268 profesional PR dari seluruh dunia ini menunjukkan pandemi COVID-19 telah membuat CEO lebih memerhatikan reputasi perusahaan dan pentingnya peran Corporate Communications.
Temuan ini menarik. Sebab, catatan dari survei Global Communications Report 2019 ketika itu, PR masih memiliki pekerjaan rumah untuk meyakinkan CEO agar menempatkan PR sebagai strategic management function. Tahun lalu, CEO juga sepakat penjualan dan jasa adalah komunikasi yang dinilai penting hingga sekian tahun ke depan.
Mereka juga ketika itu belum tertarik mengomunikasikan isu sosial yang terkait dengan bisnis perusahaan. Sementara sekarang, masih berdasarkan survei ICCO, CSR adalah salah satu area yang diprediksi akan berkembang dan membutuhkan keahlian PR/humas.
Beberapa riset yang dilakukan di tingkat lokal pun ternyata menunjukkan hasil yang tak jauh beda. Menurut Jojo S. Nugroho, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan PR Indonesia (APPRI), ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan dan merupakan masa yang paling menentukan bagi profesi PR ke depan.
Profesi ini akan semakin bersinar apabila mereka mampu menjawab tantangan dan memenuhi ekspektasi perusahaan dan stakeholder-nya. Dan, sebaliknya. “Kuncinya, PR harus adaptif, belajar cepat, dan berkolaborasi,” katanya seraya menekankan agar PR menyiapkan berbagai skenario krisis, rutin melakukan pemantauan dan mitigasi isu sepanjang tahun depan, serta mendukung upaya perusahaan untuk meninjau kembali tujuan perusahaan (corporate purpose).
SEO dan “Big Data“
Sementara itu, Sari Soegondo, co-founder dan CEO ID Comm, merangkum sedikitnya ada lima hal yang bakal memengaruhi tren public relations (PR) 2021. Kelima hal itu meliputi perubahan iklim, pandemi COVID-19, pergeseran politik global, resesi ekonomi, dan post-truth. Kelima hal ini memaksa para profesional komunikasi untuk menjadi pakar penanganan isu dan krisis.
Tim komunikasi juga harus memiliki kematangan dalam membangun komunikasi dengan internal. Mereka juga diprediksi akan lebih erat bekerja sama dengan tim SDM dan semakin terintegrasi dengan marketing.
PR juga akan memanfaatkan search engine optimization (SEO) untuk manajemen isu sebagai upaya membangun strategi komunikasi krisis yang proaktif. SEO tak lagi digunakan hanya untuk keperluan pemasaran, tetapi menempatkan konten-konten PR di urutan teratas.
Sementara menurut CEO Gollin Group Asia Pacific, Darren Burn, tahun depan, praktisi PR harus mempertajam “pensilnya” lewat data dan analitik. Dengan memahami data dan analitik, PR dapat mendengar dan memahami lebih banyak mengenai hal-hal yang sedang menjadi kebutuhan stakeholder.
Hingga pada akhirnya, PR mampu menyelesaikan masalah melalui strategi komunikasi yang berdampak pada hasil bisnis. Data dan analitik juga membantu PR bekerja menjadi lebih cepat, efisien, relevan, dan akurat, serta dapat mengantisipasi sesuatu yang akan terjadi di masa depan.
Lainnya yang diprediksi akan menjadi tren tahun depan adalah semakin banyaknya pengambilan keputusan berdasarkan kecerdasan buatan. Seperti yang dikemukakan founder Drone Emprit, Ismail Fahmi. Apalagi pertumbuhan big data sangat pesat dalam dua tahun terakhir dan semakin melesat dengan adanya pandemi.
Meski begitu, menurut Accenture Development Partnership Lead Indonesia, Nia Sarinastiti, kondisi yang terjadi saat ini adalah belum banyak organisasi dan SDM yang siap memanfaatkan dan mengimplementasikan kecerdasan buatan. Isu berikutnya, selain perlu kesungguhan perusahaan dalam menginvestasikan dana untuk pelatihan dan reskilling SDM, juga perlu adanya perubahan pola pikir dari para pemimpin mengenai kecerdasan buatan.
Tuntutan yang sedemikian rupa terhadap PR, menurut Ayu Kusuma, co-founder THINK PR, akan membuat kerja-kerja PR tahun depan diwarnai oleh isu 3A (adopt, adapt, adept). Praktisi PR harus mau mengadopsi teknologi dan metode kerja yang baru, beradaptasi dengan lingkungan yang telah berubah, sekaligus mahir mengelola keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan agar dapat beradaptasi dan mengadopsi kebaruan yang ada. Tahun depan juga akan menjadi era kolaborasi dan penggabungan.
Sementara founder dan CEO MAW Talk, Asmono Wikan, menyorot tentang pentingnya aspek kepemimpinan (leadership) dalam PR. Alasannya, pola kepemimpinan yang baik akan menempatkan komunikasi sebagai fungsi strategis manajemen.
Kompetensi Baru
Pandemi juga mendorong lahirnya kebutuhan kompetensi baru di industri PR. Merujuk dari Majalah Forbes, setidaknya ada delapan keahlian baru yang mesti dimiliki para pekerja profesional, termasuk PR. Kedelapan kompetensi baru yang juga harus dimiliki para pelaku PR tersebut meliputi adaptability and flexibility (mudah beradaptasi dan fleksibel), tech savviness (kecakapan teknologi), creativity and innovation (kreativitas dan inovasi), data literacy (literasi data), serta critical thinking (berpikir kritis), digital dan coding skills (keterampilan digital dan pengkodean), leadership (kepemimpinan), dan emotional intelligence (kecerdasan emosi).
Karena hal itu pula, pandemi turut memengaruhi akademisi dalam mempersiapkan generasi penerus PR. Seperti yang terjadi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Metode yang lebih utama diterapkan adalah yang mendorong mahasiswa untuk siap berhadapan dengan masalah. Sebisa mungkin, dalam kegiatan belajar mengajar, setiap isu dibawa ke ruang kelas untuk dianalisis dan dievaluasi.
Upaya ini, menurut dosen Departemen Komunikasi FISIP UI, Ummi Salamah, bertujuan agar mahasiswa terbiasa untuk melakukan problem listening. Ia juga selalu menekankan pentingnya menanamkan growth mindset, yakni pola pikir yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Di sisi lain, ketimbang memenuhi kebutuhan industri, ia lebih condong untuk membangun mahasiswanya memiliki jiwa pengusaha (entrepreneur).
Alasannya, di masa depan, mereka harus menjadi insan yang mampu memecahkan masalah (problem solver) yang terjadi di masyarakat dan berkontribusi membuka lapangan pekerjaan. “Bisa jadi ke depan, generasi yang diperlukan bukan tenaga kerja terampil melainkan orang-orang kreatif dan inovatif yang berani membangun perusahaannya sendiri, atau kita kenal sebagai perusahaan rintisan, yang membuka lapangan kerja,” tutupnya.
Sektor yang Diprediksi Akan Terus Bertumbuh:
– Kesehatan
– Teknologi
– Keuangan dan Layanan Profesional
Layanan PR yang Kebutuhannya Meningkat Selama Pandemi:
– Konsultan krisis
– Digital, social, online communications
– Corporate communications
Keahlian yang Paling Relevan Bagi PR ke Depan:
– Data, measurement, analytics
– Kreativitas
– Research, insight, planning
Isu Sosial yang Kemungkinan Akan Lebih Banyak Ditangani oleh PR:
– Keberlanjutan dan perubahan iklim
– Keragaman dan inklusi sosial
– Kesehatan
Penulis: Ratna Kartika.
Sumber:
– PR Indonesia, “Tren PR 2021: Kuasai Data, Pertajam Analisa”, Edisi 94 | Th VIII | Januari 2023
– ICCO World PR Report 2020-2021